Quantcast
Channel: Tauhid | Muslimah.or.id
Viewing all 63 articles
Browse latest View live

Mengenal Islam

$
0
0

Penyusun: Ummu Ziyad
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Suatu ketika, terjadi percakapan antara sepasang suami istri.

“Bang, jumlah orang Islam tuh lebih sedikit ya daripada Nasrani?”
“Iya kalau ukurannya internasional lebih sedikit.”
“Hmm… belum lagi kaum munafiqin di dalam Islam itu sendiri ya bang? (wal’iyya dzubillah.)”
“Iya…”
“Belum lagi orang-orang yang berpikiran liberal ya?
“Iya…”
“Belum lagi…”

Tahu tidak saudariku, belum lagi yang terakhir itu apa?
Belum lagi orang yang mungkin sebenarnya mengaku dirinya Islam, tapi ia tidak mengenal Islam dan mungkin tidak paham bahwa dia telah keluar dari Islam. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.

Apa Itu Islam?

Makna Islam sebagaimana didefinisikan para ulama adalah

االأِسْتِسْلامُ لِلَّهِ بِالتّوحيدد

al istislamu lillahi bit tauhid

و الأنقياد له بالطاعة
wal inqiyaadu lahu bit too’ah

و البراءة من الشرك و أهله
wal barooatu minasyirki wa ahlihi

Mari kita perjelas satu persatu definisi tersebut.

1. Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.

Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah.

“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Qs. Al Ikhlas [112]: 1-4)

Sebagai contoh, sebagian besar dari saudara kita masih sulit meninggalkan kepercayaan pada ramalan bintang (zodiak) dan penentuan nasib baik dan buruk berdasarkan hal ini (artinya ia menggantungkan urusannya dan pengharapannya pada sesuatu selain Allah). Padahal perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui dan hanya kepada Allah-lah seseorang menggantungkan segala urusannya selain usaha yang dilakukannya.

Akhirnya, dari perkara yang sulit ditinggalkan ini merambat ke hal-hal lain yang juga merupakan bentuk-bentuk kesyirikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka untuk poin pertama ini, kita harus memperbaiki ilmu tentang tauhid. Dan janganlah merasa aman dan merasa pintar sehingga mengatakan “Ah, bosan bahasannya tauhid terus.” Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun untuk menanamkan pondasi penting ini kepada para sahabat? Begitu pentingnya tauhid, karena menjadi dasar untuk peribadahan yang lain. Dan begitu pentingnya tauhid ini, agar segala amal ibadah tercatat sebagai amalan ibadah dan tidak terhapus begitu saja oleh kesyirikan.

Sebagai contoh pentingnya tauhid, tidak akan ada kemenangan besar dalam jihad fi sabilillah jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merusak tauhid, seperti jimat, bergantung pada jin, aji tolak bala dan sebagainya.

2. Menundukkan ketaatan

Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita bukan taat kepada Allah dan Rasul sebagaiman yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya.

َاوَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs. Al Maaidah [5]: 104)

Sebagai contoh kecil, karena sudah dari kecil diajarkan merayakan maulid nabi, isra mi’raj dan hari-hari besar yang bahkan dijadikan libur nasional, maka kita menganggap bahwa kita harus tunduk dan ikut merayakannya. Padahal jika benar kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tunduk dan pasrah tidak merayakan hari-hari tersebut karena memang hari-hari tersebut tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan) oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan.

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al An’am [6]: 88}

Contoh dalam masalah ini adalah ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Padahal jelas-jelas natal dirayakan oleh mereka dalam rangka ‘kelahiran’ yesus (yang dianggap tuhan). Maka jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka, ini dapat diartikan menyetujui hari tersebut dan berarti mengakui adanya tuhan selain Allah.

Begitulah kesyirikan, kadang samar sekali tak terlihat secara langsung, namun sungguh sangat membinasakan. Oleh sebab itulah, kaum muslimin disarankan membaca do’a sebagai berikut agar segala bentuk kesyirikan yang mungkin secara tidak sadar dilakukan, diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

اللهمَّ إنّي أعوذُ بكَ أنْ أُشْركَ بكَ وَ انا أعْلمُ و أستغفرُك لما لا اعْلمُِ
Allahuma inni ‘a udzu bika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’ lam.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dari berbuat kesyirikan kepadamu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunanmu dari kesyirikan yang aku tidak ketahui.” (HR. Ahmad)

Semoga menjadi pengenalan singkat tentang Islam yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Maraji’:

  1. Majalah Al Furqon edisi 5 tahun ke-8 1429/2008
  2. Syarah Tsalatsatul Ushul (terjemah) Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Pustaka Al Qowam cetakan ke-6 2005

***

Artikel muslimah.or.id


Sembelih Kerbau sebagai Tolak Bala Merapi?

$
0
0

Redaksi muslim.or.id:

Isu dan prediksi yang meresahkan bermunculan seiring dengan menggeliatnya Gunung Merapi. Untuk itu, upacara tolak bala berupa penyembelihan kerbau pun digelar di Tugu Yogyakarta.

Upacara bernama asli kuat maheso luwung saji rojosunya ini diselenggarakan oleh paguyuban Tri Tunggal. Ritual ini memang dikhususkan terkait kondisi Yogyakarta yang tengah terkena bencana letusan gunung Merapi.

“Selain karena bencana dalam hal ini Merapi. Upacara ini digelar untuk menepis prediksi yang menyebut akan melebur,” ujar pemimpin ritual yang sekaligus pendiri paguyuban Tri Tunggal, Romo Sapto, kepada wartawan di sekitaran Tugu Jogja, Senin (8/11/2010) malam. (Sumber: www.detik.com)

Sanggahan:

Menyembelih hewan dalam rangka ritual adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Barangsiapa yang melakukannya maka Allah melaknatnya. Pelakunya telah melakukan kemusyrikan, yang apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat darinya maka dia akan dihukum kekal di dalam neraka. Surga haram baginya. Seluruh amalnya akan musnah bagaikan debu yang berterbangan. Penyesalan dan kesedihan, itulah kesudahan yang akan dia rasakan pada hari kemudian.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, nusuk/sembelihan-ku, hidup dan matiku, semuanya adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, sedangkan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).

Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa kata ‘nusuk’ dalam ayat tersebut bermakna ‘sembelihan’ (Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 67). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya menyembelih -dalam rangka ritual- tidak boleh ditujukan kecuali untuk Allah. Ini artinya menyembelih termasuk jenis ibadah, sedangkan menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 86). Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah entah itu jin, berhala, ataupun kubur maka keadaannya sama dengan orang yang mengerjakan sholat dan beribadah kepada selain Allah (Syarh Kitab at-Tauhid Syaikh Ibnu Baz, hal. 68)

Dalam ayat lainnya, Allah ta’ala memerintahkan (yang artinya), “Maka lakukanlah sholat dan sembelihlah kurban untuk Tuhanmu.” (QS. al-Kautsar: 2). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah…” (HR. Muslim). Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah -dalam rangka ritual- adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan keharaman yang paling haram, karena hal itu termasuk kemusyrikan. Tidak berhenti di situ saja, daging hewan yang disembelih untuk selain Allah pun haram untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang dipersembahkan untuk selain Allah…” (QS. al-Ma’idah: 3).

Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang ingin menolak bala/bencana dengan cara menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib (baca: jin) yang ‘menguasai’ tempat-tempat tertentu -seperti gunung, laut, pohon, jembatan, dan lain sebagainya- merupakan tindakan yang sangat membahayakan. Perbuatan yang mereka lakukan bukan menolak bala, akan tetapi justru mengundang murka Allah ta’ala. Allahul musta’aan.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatannya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik pasti berada di neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. al-Bayyinah: 6)

Apabila umat manusia merasa takut terhadap ancaman bencana gempa, letusan gunung berapi dan gelombang Tsunami, maka sudah semestinya mereka lebih merasa takut terhadap musibah ini; musibah aqidah dan petaka iman yang menghancurkan kehidupan…

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan kebenaran dan berikan kepada kami kekuatan dan kemauan untuk mengikutinya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Mitos Mbah Petruk Penguasa Merapi

$
0
0

Telah tersebar kepercayaan sesat di masyarakat kita sekarang ini yaitu tentang adanya awan berbentuk petruk keluar dari puncak Gunung Merapi. Di antara kekonyolan tersebut menyebutkan bahwa di puncak Gunung Merapi ada penunggu yang menguasai Gunung Merapi. Sehingga kemunculannya menjadi pertanda akan adanya bahaya yang datang. Adapun letusan Gunung Merapi adalah wujud dari kemarahan Mbah Petruk “Si Penunggu Merapi”.

Dialah Allah Penguasa Jagad Raya

Firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (QS. 3:189)

Syaikh As Sa’di menjelaskan makna ayat di atas, “Dialah pemilik dan raja yang menguasai langit dan bumi dan segala sesuatu di antara keduanya. Dengan berbagai macam jenis ciptaan sesuai dengan kesempurnaan kekuatan-Nya. Dialah pencipta semua makhluk, tidak ada satu pun yang dapat menghalagi dan melemahkan (apa yang menjadi kehendak-Nya).” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 16)

Juga firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 120,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَافِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu diantara keduanya. Dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.

Dan masih banyak lagi ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan satu-satunya penguasa di langit dan di bumi ini hanyalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Jika telah jelas Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang menguasai langit dan bumi lantas kenapa masih ada di antara kaum muslimin zaman sekarang ini yang meyakini adanya penguasa selain Allah seperti penguasa Gunung Merapi atau pun penguasa laut selatan?

Bukankah ini adalah kebathilan yang sangat besar wahai saudaraku! Tidakkah mereka mengetahui bahwa kaum musyrikin Quraisy yang diperangi Rasululllah shallallahu ’alaihi wa sallam mengimani rububiyyah Allah, mengimani Allah lah satu-satunya penguasa langit dan bumi, satu-satunya Dzat yang menciptkan semua makhluk? Namun demikian mereka termasuk golongan orang musyrik yang menjadi musuh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Saudaraku,renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini …

قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)

“Tanyakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya, jika kamu tahu? Niscaya mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Tanyalah (kembuli): (Kalau demikian), apakah kamu tidak juga ingat?

Tanyakan (kembali): Siapakah Tuhan Pemilik langit yang tujuh dan Tuhan yang empunya `Arsy yang besar?

Niscaya mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah! Tanyakan (kembali): Apakah kamu tidak juga mau bertakwa?

Tanyakan (pula): Di tangan siapakah kekuasaan tiap-tiap sesuatu, sedang Dia Yang Melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari murkaNya), jika kamu mengetahui?

Niscaya mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah: Kalau demikian apakah agaknya yang menyebabkan kamu tertipu?”. (QS. Al-Mukminun: 84-89)

Ataukah mereka ingin menyekutukan Allah melibihi kesyirikan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy zaman dahulu?

Saudaraku, jika engkau saat ini meyakini adanya penguasa Gunung Merapi ataupun laut selatan maka bertaubat dan memohon ampunlah kepada Allah atas keyakinan bathil ini. Dan tancapkanlah dalam dadamu keyakinan satu-satunya Dzat yang menguasai langit dan bumi dan segala sesuatu di antara keduanya hanyalah Allah termasuk pula Gunung Merapi dan Laut Selatan tadi. Renungkanlah!

Letusan Merapi Merupakan Takdir Allah

Bukan karena kemarahan Mbah Petruk, kekecewaan mbah fulan ataupun kemurkaan penunggu laut selatan. Tidakkah Engkau tahu wahai saudaraku bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan semua kejadian yang ada di jagad raya ini lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi?

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653)

Dialah Allah Satu-Satunya Dzat yang dapat Mendatangkan Manfaat dan Menolak Bahaya

Allah Ta’ala berfirman di beberapa tempat dalam Al-Quran,

قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَالا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا نَفْعًا

“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76)

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfa’at kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka.”(QS. Yunus: 18)

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُهُمْ وَلا يَضُرُّهُمْ وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا

Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfa’at kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. Adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya.” (QS. Al-Furqan: 55)

Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan gamblang bahwasanya sesembahan selain Allah baik dari kalangan malaikat, para nabi, orang- orang shalih dan bangsa jin mereka semua tidaklah bisa mendatangkan manfaat dan mudhorot. Bahkan untuk menyelamatkan diri sendiri saja mereka tidak bisa jika Allah telah menetapkan sesuatu baginya.

Lantas di manakah akal orang yang mengatakan dan menyakini bahwa letusan Merapi, gempa dan berbagai musibah yang datang itu karena sebab kemarahan Mbah Petruk?

Ingatlah saudaraku nasehat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas,

Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat, ’Jagalah (hak) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (hak) Allah, maka engkau akan mendapati-Nyadihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkaumeminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwaseandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka

mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telahditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatukemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatankepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telahdiangkat dan lembaran-lembaran telah kering’.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata,”Hadist ini hasan shahih”).

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits di atas sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak akan ada yang bisa memberi manfaat kepada sesorang meskipun seluruh umat berkumpul kecuali jika Allah telah menetapkan hal itu baginya. Begitupula sebaliknya tidak akan ada yang bisa membahayakan seseorang kecuali jika Allah telah menetapkan hal itu menimpanya.”(Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 204)

Gunung adalah salah satu makhluk Allah. Dia meletus dengan ketetapan Allah. Allah menakdirkannya sesuai dengan kesempurnaan hikmah dan keadilan-Nya. Tidak ada campur tangan makhluk dalam ketetapan dan kehendak-Nya. Apalagi hanya seorang jin yang tidak punya kekuatan barang sedikit pun bahkan untuk menyelematkan diri dari segala sesuatu yang Allah tetapkan pun tidak mampu. Lalu bagaimana mungkin makhluk yang lemah diyakini menjadi penguasa gunung atau bahkan yang memelihara gunung, menguasainya dan mengendalikan segala aktifitas gunung?!. Lahaula wala quwwata illa billah …

Musibah Mendera,Minta Tolonglah Kepada Allah bukan Kepada Jin!

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan poin penting tentang hadist Ibnu Abbas di atas. Beliau rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba membutuhkan pertolongan maka hendaknya ia meminta tolong (memohon) hanya kepada Allah. Namun boleh juga dia meminta tolong kepada selain Allah yaitu kepada orang yang memang sanggup untuk menolongnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Engkau membantu seseorang berkenaan dengan tunggangannya, lalu engkau menaikkannya ke atas tunggannya atau engkau menaikkan barang ke atasnya maka ini semua adalah shadaqah” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 204).

Sehingga sungguh memiris hati tatkala Allah memberi musibah dengan berbagai bencana yang datang silih berganti namun manusia malah berbuat syirik dengan meminta tolong kepada jin, menyembelih binatang (menyajikan ‘tumbal’) untuk dipersembahkan kepada jin. Di mana hakekatnya mereka telah beribadah, menyembah dan mengagungkan jin. Ini semua merupakan bentuk kesyirikan besar yang mendatangkan murka Allah dan lebih dari itu Allah ancam pelakunya dengan kekalan neraka. Wal iyyadzubillah

Bahkan Jin juga Seperti Manusia!

Jin adalah makhluk yang Allah ciptakan agar mereka menyembah-Nya. Begitupula manusia diciptakan untuk menyembah dan mentauhidkan Allah. Dan inilah tujuan utama mengapa Allah menciptakan jin dan manusia. Sehingga tidak ada yang istimewa bagi bangsa jin. Mereka juga makhluk yang tidak berdaya seperti manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu “.(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jin dan manusia adalah makhluk yang lemah, hina, tidak memiliki kekuatan sedikitpun, penuh dengan kecacatan. Lalu di manakah akal orang yang mengatakan gunung meletus karena sebab kemurkaan Mbah Petruk?

Mitos Sesat Merusak Aqidah

Ketahuilah saudaraku, jika ada yang mengatakan ini hanyalah mitos dan dongeng belaka. Maka katakanlah, “Di manakah Engkau letakkan aqidahmu? Bukankah mitos itu dibangun dari keyakinan dan kepercayaan? Apakah engkau hendak menjadikan hal ini gurauan dan permainan belaka? Sementara ia akan mengikis habis aqidah lurusmu dan Engkau tidak menyadarinya?”

Dan kepercayaan yang bathil seperti inilah yang akan mengahncurkan aqidah kaum muslimin. Keyakinan mereka yang lurus tentang rububiyyah Allah telah luluh lantah karena tersebarnya mitos yang sesat dan meyesatkan. Ya Allah selamatkanlah aqidah kami dan seluruh kaum muslimin…

Renungkanlah Nasehat Ini …

Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri rahimahullah bertutur,

Wahai sekalian manusia tidakkah kalian menjawab ayat ini,

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَخَذَ اللَّهُ سَمْعَكُمْ وَأَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلَى قُلُوبِكُمْ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِهِ

Katakanlah Muhammad,’Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa megembalikannya kepadamu?’” (QS. Al An’am: 46)

Apakah kalian tidak berakal…

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِضِيَاءٍ أَفَلاَ تَسْمَعُونَ (71) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ النَّهَارَ سَرْمَدًا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ يَأْتِيكُمْ بِلَيْلٍ تَسْكُنُونَ فِيهِ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ (72)

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?”

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Qashash: 71-72)

Apakah kalian tidak berfikir…

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُونَ (58) أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ (59)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya” (QS. Al-Waqi’ah: 58-59)

Apakah kalian tidak bisa melihat…

Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya.” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64)

Apakah kalian tidak bisa memperhatikan…

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69) لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْ لاَ تَشْكُرُونَ (70) أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ (71) أَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِئُونَ (72)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan. Kalau kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur? Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 68-72)

Apakah kalian tidak berakal … Siapakah yang menundukkan malam, siang, matahari, bulan dan bintang? Dialah Allah semata. Sebagaimana firman-Nya,

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).” (QS. An-Nahl: 12)

Jika Allah adalah Dzat yang menciptakan, Dzat yang member rizqi, Dzat yang mengatur semua urusan, Dzat yang mengetahui segala sesuatu maka Dialah satu-satunya Dat yang berhak untuk diibadahi bukan yang lainnya. Karena Dialah dzat yang maha hidup, Maha menciptakan, Maha memberi rizqi, Maha mengetahui, Maha Kuasa sementara selain Allah adalah makhluk yang lemah,tidak bisa mencipta, tidak bisa member rizqi dan tidak pula bisa mendatangkan manfaat dan madharat.”(Ushuluddin Al-Islami)

***

Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Fatimah
Murajaah: Ust Abu Rumaysho M A Tausikal

Maraji’:

  • Syarh Al-Arba’in An-Nawaiyyah, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya, KSA
  • Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, Abdurrahman Bin Nashr As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah, Beirut.
  • http://www.islamqa.com/ar/ref/13379

Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu (Bagian 1)

$
0
0

Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu

Saudariku…

Menjadi insan yang bertauhid adalah dambaan bagi setiap hamba yang beriman. Karena senantiasa berada di atas kalimat tauhid adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Karena tauhid merupakan kunci penyelamat kehidupan seorang hamba di dunia menuju alam akhirat. Di dunia dia bahagia karena terlepas dari penghambaan diri kepada selain Allah, dan di akhirat dia bahagia karena berhak untuk mendapatkan surga. Sebagaimana hadits dari ‘Ubadah Ibnu Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwasannya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasannya ‘Isa adalah hamba dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan (dia juga bersaksi) bahwa surga itu benar adanya dan neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga berapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan menjelaskan bahwa “dimasukkan surga berapapun amal yang telah diperbuatnya” memiliki dua makna:

1Allah memasukkannya ke dalam surga, meski dia seorang yang lalai dan memiliki dosa (selain syirik), karena sesungguhnya seorang yang bertauhid harus dimasukkan ke dalam surga.

2Allah memasukkannya ke dalam surga dan kedudukannya tergantung amal yang telah diperbuatnya.

Namun sudah tahukah kita bahwa kalimat tauhid (لا اله الا الله ) yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian kita ternyata memiliki syarat yang harus kita penuhi. Apa sajakah syarat itu? Marilah sejenak kita lanjutkan risalah ini.

Apakah maksud kata: Syarat

Syarat (اَلشَرْطُ ) secara bahasa artinya tanda atau alamat.

Secara istilah, makna syarat adalah sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum, namun adanya tidak mengharuskan pasti adanya hukum.

Contoh:

Hadits dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا صلاة لمن لا وضوء له

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak punya wudlu.”

Dalil di atas menegaskan bahwa seseorang tidak berwudlu (bersuci), maka shalatnya tidak sah. Karena orang tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya shalat yaitu berwudlu (bersuci). Hal ini menjelaskan pengertian pertama dari syarat, “sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum”. Adapun penjelasan pengertian kedua, “adanya sesuatu tidak mengharuskan pasti adanya hukum”, yaitu jika seseorang berwudlu, maka wudlunya tersebut tidaklah memastikan/mengharuskan dirinya hendak mengerjakan shalat. Boleh jadi dia berwudlu karena ada hajat lainnya, misalnya amalan sunnah yang dilakukan sebelum tidur, hendak mandi wajib, dan lain sebagainya.

Darimana asal usul syarat لا اله الا الله?

Sebelum kita membahas syarat-syarat apa saja yang harus kita dipenuhi, mungkin kita bertanya-tanya, darimana asal-usul adanya syarat kalimat لا اله الا الله? Adakah dalil yang secara tegas menjelaskan hal tersebut?

Saudariku,… memang tidak ada dalil ‘saklek’ yang menjelaskan tentang syarat لا اله الا الله, namun para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang adanya syarat-syarat tersebut. Sebagaimana mereka juga mengumpulkan syarat-syarat dan rukun-rukun dari ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, dll. Dengan demikian, hal ini lebih memudahkan kaum muslimin dalam memahami dan mengamalkannya.

Mengapa kita harus melaksanakan syarat-syarat itu?

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, kalimat لا اله الا الله yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian memiliki syarat yang harus dipenuhi. Jika salah satu di antara syarat-syarat tersebut tidak kita penuhi, maka akan menjadikan kalimat tersebut tidak sah atau tidak diterima.

Saudariku…

Banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui syarat-syarat ini. Hingga akhirnya merekapun dengan begitu ringannya mengucapkan kalimat لا اله الا الله , tanpa mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Mereka mengucapkannya, namun mereka tidak meyakini di dalam hati serta tidak mengamalkan syarat-syarat tersebut karena ketidaktahuan mereka. Sehingga hal ini adalah sesuatu yang sia-sia.

Adapun orang-orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka begitu memahami makna dan hakikat kalimat tersebut dalam bahasa Arab, sehingga mereka tidaklah mau menerima kalimat ini meski hanya mengucapkan saja. Karena mengucapkan kalimat tersebut memiliki resiko dan konsekwensi yang sangat besar yakni mereka harus meninggalkan segala sesembahan lainnya, yang mereka sembah selain Allah.

أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5).

Orang-orang kafir tersebut mengetahui makna kalimat tauhid secara sempurna namun mereka tidak mau memenuhi seruannya, sedangkan kaum muslimin zaman sekarang berbondong-bondong mengucapkan kalimat tauhid, namun banyak dari mereka masih terjerumus dalam kemusyrikan karena ketidaktahuan mereka dengan makna kalimat tersebut. Kita berlindung pada Allah dari hal ini.

Inilah syarat-syarat kalimat لا اله الا الله

Saudariku..

Inilah syarat kalimat tauhid yang harus kita pahami. Perhatikanlah, agar kita diberikan kemudahan oleh Allah untuk melaksanakan 7 syarat berikut ini:

Pertama, Ilmu, yaitu memahami makna kalimat tersebut, baik dari sisi penafian (peniadaan) maupun dari sisi penetapan.

Dengan mengilmui, kita telah berusaha menghilangkan kebodohan kita terhadap makna kalimat ini. Adapun makna dari kalimat لا اله الا اللهadalah لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ اللهُ :

Tidak ada sesembahan yang haq (diibadahi dengan benar) selain Allah.

Dua hal yang harus kita ketahui dari kalimat ini adalah:

  1. نَفْيُُ (Penafian). Sisi penafian ditunjukkan oleh kalimat لَا اِلَهَ: Artinya, kalimat ini meniadakan semua bentuk sesembahan.
  2. اِثْبَاتُ ُ (Penetapan). Sisi penetapan ditunjukkan pada kalimat اِلَّا اللهُ : Artinya kalimat ini menetapkan bahwa satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi hanyalah Allah.

Perlu diingat, bahwa kedua hal ini harus berjalan bersamaan. Karena tidaklah dinamakan bertauhid ketika hanya menafikan adanya tuhan, atau sebaliknya hanya menetapkan bahwa Allah adalah sesembahan, tanpa diiringi pengingkaran terhadap sesembahan selain Allah.

Dalil wajibnya memahami makna kalimat ini adalah firman Allah ta’ala :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) yang haq selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)

Dari Utsman radhiyallahu ‘anhu, Dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة

“Barangsiapa yang meninggal dunia sedang dia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)

Kedua, yakin, yaitu mengetahui secara sempurna kalimat tersebut. Lawan yakin adalah keragu-raguan (syak).

Yakin merupakan kekuatan dan kesempurnaan ilmu. Seorang yang mengatakan kalimat haruslah benar-benar meyakini pengertian dan kandungan kalimat tersebut tanpa adanya keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Karena iman itu butuh keyakinan, tidak cukup dengan prasangka.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (15)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)

Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيهما إلا دخل الجنة

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan (meyakini) kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, melainkan dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan:

لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيحجب عن الجنة

“Tidak ada seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan meyakini kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, lantas dia terhalang untuk masuk surga.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang cukup panjang, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقناً بها من قلبه فبشره بالجنة

“Siapapun yang engkau temui di balik tembok ini bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan hatinya yakin dengan kalimat tersebut, maka sampaikanlah kabar gembira kepadanya (bahwa dia akan memperoleh) surga.”

***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Aufa Nunung Wulandari
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Maraji’:

  • Al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, Media Hidayah.
  • Jami’ Ahkamis Shalat, Maktabah Syamilah.
  • Mulakhos Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Darul ‘Ashimah.
  • Penjelasan Hal-Hal yang Wajib Diketahui oleh Setiap Muslim dan Muslimah, Ibrahim bin As-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i.
  • Tanbihat Mukhtashoroh, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad Al-Khuraisyi, Darus Shomi’i.

Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu (Bagian 2)

$
0
0

Ketiga, Ikhlas. Lawannya adalah syirik

Allah berfirman:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِص

Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)

Allah juga berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

أسعد الناس بشفاعتي من قال لاإله إلا الله خالصاً من قلبه -أو من نفسه –

Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang-orang yang mengatakan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan ikhlas dari dalam lubuk hatinya (atau dirinya).” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain, dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله عز وجل

Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang mengucapkan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. (HR. Bukhari dan Muslim).

Ikhlas adalah mencintai Allah, mengesakanNya dan membersihkan seluruh ibadah kepada-Nya dari semua unsur kemusyrikan. Karena Allah adalah satu-satunya sesembahan yang paling berhak untuk diibadahi dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Keempat, shidq (membenarkan). Lawannya adalah sikap mendustakan .

Seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka orang tersebut harus membenarkannya di dalam hatinya, di mana hatinya selalu sejalan dengan lisannya. Tidaklah cukup bagi kita mengucapkan kalimat لا اله الا الله saja, namun ucapan ini juga harus dibarengi dengan adanya pembenaran di dalam hati. Adapun orang yang hanya menampakkan lahirnya saja dengan mengucapkan kalimat tersebut, akan tetapi dia tidak membenarkan dalam hatinya, maka dia adalah seorang munafik.

Allah ta’ala berfirman:

الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)

Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka membiarkan (saja) mengatakan,’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji. Dan seseungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 1-3).

Allah juga berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

Di antara manusia ada orang-orang yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, namun mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka telah berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).

Dalam hadis, dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، صادقاً من قلبه ، إلا حرمه الله على النار

Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan sebenar-benarnya di dalam hati, melainkan Allah mengharamkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, mahabbah, yaitu mencintai kalimat ini serta makna yang terkandung di dalamnya dan merasa bahagia dengannya.

Rasa cinta terhadap kalimat ini telah meniadakan rasa benci. Bahkan cinta merupakan salah satu unsur pokok dalam ibadah di samping rasa takut dan harap.

Cinta sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu cinta yang wajib dan cinta yang sunnah (dianjurkan).

Cinta yang wajib adalah keadaan di mana seseorang tidaklah dinilai sebagai seorang muslim kecuali dengan mewujudkannya. Cinta ini adalah cinta kepada Allah. Cinta ini mewajibkan seseorang untuk melaksanakan apa-apa yang diwajibkan kepadanya, dan meninggalkan semua yang diharamkan baginya.

Ada ulama –rahimahullah- yang menulis nasehat :

تَعْصِي الْإِلَهَ وَ اَنْتَ تَزْعُمٌ حٌبَّهُ

هَذَا لَعَمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ

لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقَاَ لَأَطَعْتَهُ

إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

Engkau durhaka kepada Allah, sementara engkau mengaku mencintai-Nya

Demi Allah, sesungguhnya dalam analogi itu terdapat sesuatu yang buruk

Seandainya cintamu itu benar, pasti engkau akan menaati-Nya

Karena sesungguhnya orang yang mencintai akan selalu menaati Dzat yang dicintainya.

Adapun cinta yang sunnah adalah cinta yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang disunnahkan.

Mengenai mahabbah ini, Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah, mereka mencintai sesembahan-sesembahan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165).

Allah juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah: 54)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار

Ada tiga perkara yang jika itu semua terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, dia mencintai seseorang yang dia mencintainya hanya karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keenam, tunduk.

Maksudnya adalah tunduk terhadap konsekwensi kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . Bentuknya adalah melaksanakan amalan yang wajib, ikhlas karena Allah dan untuk tujuan mencari ridha Allah. Lawan sikap tunduk adalah al-i’radh (cuek). Artinya, sama sekali tidak mau melaksanakan konsekwensi kalimat tauhid tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَه

Dan kembalilah kalian kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya. (QS. Az-Zumar: 54)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’: 125)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)

Allah juga berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65)

Ketujuh, al-Qabul (menerima)

Artinya, menerima dengan sepenuh hati setiap konsekwensi kalimat tauhid. Lawan dari sikap menerima adalah menolak.

Seorang muslim yang mengaku dirinya beriman sudah seharusnya menerima kalimat ini dengan hati dan lisannya. Maka barangsiapa yang tidak mau menerima kalimat ini, menolaknya, bahkan menyombongkan diri darinya, maka dia telah kafir. Karena sikap menolak kalimat tauhid ini, serupa dengan yang terjadi di kalangan kaum kafir Quraisy di mana mereka melawan dan bersikap sombong serta tidak mau menerima kalimat tauhid tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)

Dan demikianlah, kami tidaklah mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ’Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata,’Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapatkan dari (agama) yang dianut bapak-bapak kalian. Mereka menjawab,’Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka kami binasakan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az-Zukhruf: 23-25).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka ‘ (tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah)’, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ’Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan karena seorang penyair gila?’ ” (QS. Ash-Shaffat: 35-36).

Dalam hadis, dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مثل ما بعثني الله به من الهدى والعلم كمثل الغيث الكثير أصاب أرضاً ، فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب الكثير ، وكانت منها أجادب أمسكت الماء فنفع الله به الناس فشربوا وسقوا وزرعوا ، أصاب منها طائفة أخرى إنما هي قيعان لا تمسك الماء ولا تنبت كلأ ، فذلك مثل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم وعلّم ، ومثل من لم يرفع بذلك راساً ولم يقبل هدى الله الذي أرسلت به

Permisalan petunjuk yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan lebat yang jatuh ke bumi. Sebagian bumi ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air dan menumbuhkan rerumputan yang banyak. Sebagian lagi ada tanah yang keras namun bisa menahan air, sehingga Allah bisa menjadikannya bermanfaat bagi manusia untuk minum, memberi minum (ternak) dan bercocok tanam. Sebagian air hujan tersebut juga mengenai gersang, yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Demikianlah permisalan bagi orang yang paham tentang agama Islam. Allah memberikan kemanfaatan padanya dengan ajaran yang ku-bawa dari-Nya. Dia belajar dan mengajar. Dan permisalan bagi orang yang tidak peduli dengan ilmu dan petunjuk. Dia tidak mau menerima petunjuk Allah yang ku-bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Aufa Nunung Wulandari
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Maraji’:

  • Al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, Media Hidayah.
  • Jami’ Ahkamis Shalat, Maktabah Syamilah.
  • Mulakhos Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Darul ‘Ashimah.
  • Penjelasan Hal-Hal yang Wajib Diketahui oleh Setiap Muslim dan Muslimah, Ibrahim bin As-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i.
  • Tanbihat Mukhtashoroh, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad Al-Khuraisyi, Darus Shomi’i.

Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma dan Sifat Allah

$
0
0

Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah

- Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah.

Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)

“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)

Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Kaidah Dalam Asma Allah

- Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)

Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)

Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR. Muslim)

Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,

“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR. Bukhari)

- Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu

Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,

“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga”
(HR. Bukhari)

Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.

- Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i

Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.

- Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)

Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut.

Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)
Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah (keagungan)

Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman
Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3 hal:
a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,
c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.

Kaidah dalam memahami sifat Allah

- Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun.
Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As Sama (mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)

Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.

- Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.

- Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kekurangan.
Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.

Allah ta’ala berfirman,

وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)

إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (١٥) وَأَكِيدُ كَيْدًا (١٦)

“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.

- Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah

Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.

Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.

Contohnya, Firman Allah ta’ala,

وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (٤٩,)

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)

Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.

- Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah

Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti sifat As Sama, Al Bashar

Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang)

Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.

- Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertayaan

1. Apakah sifat itu hakiki, mengapa?
2. Apakah boleh menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan mengapa?
3. Apakah boleh menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah,

1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang shahih.

2. Tidak boleh menanyakan kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,

وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا (١١٠)

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)

Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah

3. Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman Allah ta’ala

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)

Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.

Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:
Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.

Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”
Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.

- Bagaimana membantah Mu’athilah

Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebut muawwilah.

Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.

Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Pendahuluan Syaikh Utsaimin sebelum men-syarah)

***
Diterjemahkan oleh tim penerjemah muslimah.or.id
Murojaah: Ust. Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.or.Id

Perkataan “Seandainya” Membuka Pintu Setan

$
0
0

Terkadang seseorang mengucapkan kata-kata yang dia kira itu hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele padahal perkataan tersebut merupakan sesuatu yang bisa mendatangkan murka Allah ta’ala. Sehingga, bisa jadi seseorang dilemparkan ke dalam api neraka karena ia tidak mau berhati-hati dengan perkataannya. Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَ إِنَّ العَبْدَ لَيَتكلَّمُ بالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لا يُلْقي لَهَا بالاً يَهوى بها فى جَهَنَّمَ

“Sungguh seseorang mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karenanya dia dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR. Bukhari no. 6478 dalam Kitabur Riqaq, Bab “Menjaga Lisan”)

Perkataan ‘seandainya’

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلا تَعْجِزَنَّ , وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”. (HR. Muslim no. 2664)

Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya perkataan seandainya membuka (pintu) perbuatan setan adalah karena di dalam kata-kata seandainya menunjukkan adanya kesedihan yang mendalam dan mencela terhadap takdir Allah ta’ala ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Sedangkan sikap yang demikian ini meniadakan sikap sabar dan ridha terhadap takdir Allh ta’ala. Padahal, sebagaimana yang sudah diketahui bahwa sabar hukumnya wajib. Dan begitu juga dengan iman kepada takdir Allah, hal ini juga merupakan kewajiban bagi setiap orang.

Allah ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ # لِكَيْلَا تَأْسَوْهَا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا ءَا تَكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَا لٍ فَخُوْرٍ #

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya, sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan untukmu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid: 22-23)

Amiirul mukminin Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Sabar adalah sebagian dari iman, sebagaimana kedudukannya kepala terhadap badannya.” (Derajat Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3627), An-Nasaa’i dalam Al-Kubra (1462) dan Ahmad (6/24))

Oleh karena itulah, jika kita tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak kita harapkan, maka sepantasnya bagi kita adalah bersabar dan menerima terhadap apa yang telah menjadi ketentuan Allah ta’ala dan tidak perlu mengatakan, “seandainya tadi aku tidak melakukan hal ini, tentulah kejadiannya akan berbeda” atau kata-kata yang semisalnya.

Karena meskipun kita mengatakan “seandainya begini atau begitu, maka tidaklah akan terjadi hal ini”, ucapan ini tidak akan menyebabkan apa yang telah hilang dari kita bisa kembali lagi. Dan perlu diketahui bahwa perkataan yang seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan hal ini justru bisa menambah kesusahan dalam jiwa.

Pembagian Kata Seandainya

Syaikh As-Sa’diy dalam Al Qoulus-Sadiid menjelaskan bahwa ucapan seandainya terbagi menjadi dua macam, yaitu Tercela dan Terpuji.

Perkataan Seandainya yang Tercela

Perkataan seandainya tercela jika diucapkan ketika seseorang tertimpa suatu musibah atau sesuatu yang tidak disukai oleh dirinya. Lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini, pastilah kejadiannya tidak akan seperti ini’. Maka perkataan “seandainya” yang seperti inilah yang terlarang. Karena dalam perkataan ini terdapat dua hal yang perlu untuk diwaspadai. Yaitu,

Pertama, karena perkataan seperti ini dapat membuka pintu penyesalan dan kesedihan yang berkepanjangan. Sedangkan sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kedua hal tersebut tidaklah bermanfaat dan sudah sepantasnya untuk dibuang jauh-jauh.

Kedua, karena dalam perkataan tersebut terdapat tindakan yang tidak baik terhadap Allah ta’ala dan takdir-Nya. Karena semua perkara dan semua kejadian baik itu kecil maupun besar, semuanya terjadi berdasarkan takdir yang telah Allah ta’ala tentukan. Dan semua perkara yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala adalah pasti terjadi dan tidak mungkin bisa ditolak. Maka, seseorang yang mengatakan “seandainya aku berbuat begini atu begitu” atau mengatakan “seandainya aku berbuat begini, pastilah kejadiannya akan lain”, seakan-akan perkataan-perkataan tersebut adalah penolakan terhadap takdir Allah ‘azza wa jalla. Dan perkataan seperti ini juga menunjukkan akan lemahnya keimanan terhadap takdir Allah ta’ala.

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa perkataan “seandainya” perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan keimanan dan ketauhidan seseorang menjadi tidak sempurna. Karena orang yang tidak menyukai takdir Allah ta’ala, sama saja dia dengan menolak takdir Allah ta’ala. Dan orang yang menolak takdir, sama saja dia tidak rela jika Allah ta’ala adalah sebagai Rabb. Dan siapa yang tidak rela jika Allah sebagai Rabb nya, maka orang tersebut sama saja dengan tidak merealisasikan Tauhid Rububiyyah.

Dan yang menjadi kewajiban bagi setiap orang yang beriman adalah dia rela jika Allah ta’ala sebagai pengatur dirinya. Dan ia rela dengan setiap keputusan Allah yang telah ditentukan Allah ta’ala untuk dirinya.

Perkataan “Seandainya” yang Terpuji (yang diperbolehkan)

Adapun perkataan “seandainya” yang diperbolehkan (yang terpuji) adalah kata “seandainya” yang diucapkan oleh seseorang ketika ia mengharapkan suatu kebaikan. Hal ini sbagaimana perkataan seorang laki-laki ketika mengharapkan sebuah kebaikan, “seandainya aku memiliki harta semisal dengan apa yang dimiliki oleh si fulan, sungguh aku akan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh si fulan” (laki-laki ini berharap bisa memiliki harta sebagaimana yang dimiliki oleh si fulan, sehingga ia bisa menginfakkan hartanya tersebut di jalan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh si fulan).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, jika perkataan ‘seandainya’ tersebut mengandung keluh kesah, kesedihan, ketidak-relaan terhadap takdir Allah ta’ala, atau mengandung harapan untuk sebuah kejelekan, maka perkataan ‘seandainya’ dalam hal ini adalah tercela.

Kemudian jika perkataan ‘seandainya’ tersebut mengandung cita-cita dan harapan untuk kebaikan, karena menginginkan mendapat petunjuk, ataupun karena menginginkan mendapat suatu ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, maka kata ‘seandainya’ dalam hal ini adalah sesuatu yang terpuji dan diperbolehkan.

Penutup

Oleh karena itu wahai saudaraku, maka sepantasnya bagi kita untuk senantiasa menjaga lisan-lisan kita dari perkataan-perkataan yang tidak bemanfaat. Terlebih lagi jika kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dapat mengurangi kesempurnaan iman dan tauhid.

Disamping itu, kita juga harus senantiasa bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita. Karena sudah menjadi sebuah kepastian bahwa apapun yang telah Allah ta’ala takdirkan untuk makhluk-makhluk-Nya, maka itulah yang terbaik untuk mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya setiap keputusan Allah ta’ala untuk hamba-hamba-Nya adalah menunjukkan akan keadilan Allah ta’ala.

Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menjadi sebuah nasihat buat diri saya sendiri maupun orang-orang yang berkenan untuk membacanya. Semoga kita selalu menjadi orang yang senantiasa berhati-hati dalam semua ucapan dan perbuatan.

Wallaahul-muwaffiq ilaa sabiilir-rosyaad.

Alhamdulillahil-ladzii bini’matihi tatimmush-shaalihaat

***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu ‘Iffah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

  • Al-Irsyaad ilaa shahiihil-I’tiqaad, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daarush-Shohaabah.
  • Al-Qaulul Mufiid ‘alaa kitaabiit-tauhiid, Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, Daaruts-Tsarooya lin-nasyr
  • Al-Qaulus-Sadiid fii Maqaashidit-Tauhiid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Daarul Aqiidah.
  • Fathul majiid syarh kitaabit-tauhiid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh, Daarul kutub Al-‘Ilmiyyah.
  • Mulakhkhosh fii Syarh kitaabit-tauhiid, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daarul-‘Aashimah (Maktabah Syamiilah).
  • Mutiara Faidah Kitab Tauhiid, Abu Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim.

 

Dua Jenis Ma’iyyatullah

$
0
0

Ahlussunnah menetapkan sifat ma’iyyah bagi Allah, yaitu bahwa Allah bersama hamba-Nya. Namun para ulama menjelaskan bahwa ma’iyyatullah ada yang khusus (ma’iyyah khashah) dan ada yang umum (ma’iyyah ‘ammah). Apa perbedaannya?

Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi menjelaskan:

Ma’iyyah ‘ammah sifatnya umum bagi mu’min dan kafir. Ma’iyyah ‘ammah adalah kebersamaan berupa keilmuan Allah yang teliti dan meliputi seluruh makhluk. Ma’iyyah ‘ammah ini dalam banyak ayat disebutkan dalam konteks mujaazah (pembalasan amalan) dan muhaasabah (perhitungan amal), sebagaimana ditunjukan dalam firman Allah Ta’ala

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadilah: 7).

Dan juga firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاء وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ} [سورة الحديد: آية 4].

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4).

Juga firman-Nya:

وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan“ (QS. Al Hadid: 4).

Inilah ma’iyyah ‘ammah, dan konsekuensi dari ma’iyyah ‘ammah adalah sifat ihathah yaitu ilmu Allah meliputi semua makhluk-Nya. Ma’iyyah ‘ammah disebut dalam Al Qur’an dalam konteks mujaazah (pembalasan amalan), muhaasabah (perhitungan amal) serta takhwiif (ancaman).

Adapun ma’iyyah khashah, itu khusus bagi kaum mu’minin. Ma’iyyah khashah disebutkan dalam Al Qur’an dalam konteks al mad-hu wats tsana-u (pujian dan sanjungan). Allah Ta’ala berfirman mengenai ini:

اصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar” (QS. Al Anfal: 46)

لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. At Taubah: 40)

إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى

sesungguhnya Aku bersama kalian (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat kalian” (QS. Thaha: 46)

 

Ini semua khusus bagi kaum mu’minin dan disebutkan dalam konteks pujian dan sanjungan bagi mereka.

Ma’iyyah ‘ammah sifatnya umum bagi mu’min dan kafir, tetapi ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun (yang artinya) ”sesungguhnya Aku bersama kalian Aku mendengar dan melihat kalian“ ini ma’iyyah khashah. Adapun ketika Fir’aun termasuk dalam konteks pembicaraan, yang disebutkan adalah ma’iyyah ‘ammah

إِنَّا مَعَكُم مُّسْتَمِعُونَ

sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan)” (QS. Asy Syu’ara)

Dalam surat Asy Syu’ara ini ketika dalam konteks pembicaraan termasuk di dalamnya Fir’aun, Musa dan Harun, maka ini ma’iyyah ‘ammah ”sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan)“. Tapi ketika hanya Musa dan Harun, ”sesungguhnya Aku bersama kalian (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat kalian“, disebutkan ma’iyyah khashah.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/14575

Artikel Muslimah.Or.Id

Penerjemah: Yulian Purnama


Soal-Jawab Seputar Aqidah

$
0
0

Apakah Makna “Rabb”?

Jawab:

Maknanya adalah Penguasa, Yang Berhak Disembah, Yang Mengatur, dan hanya Dia yang berhak diibadahi.

***

Apakah Perbedaan Tauhid Rububiah dan Tauhid Uluhiah?

Jawab:

  • Tauhid rububiah: mengesakan Allah terkait perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tetumbuhan, dan mengatur segala urusan.
  • Tauhid uluhiah: mengesakan Allah terkait perbuatan seorang hamba kepada Rabnya, seperti berdoa, khauf (takut), raja’ (berharap), tawakal, inabah (taubat), raghbah (berharap), rahbah (takut), nadzar, istighatsah (berdoa ketika dilanda kesulitan), dan jenis lain dari ragam ibadah.

***

Untuk apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab:

  • Untuk mengajak para hamba agar beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata–tiada sekutu bagi-Nya–serta agar mereka tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesembahan lain.
  • Untuk melarang peribadahan kepada sesama makhluk, seperti malaikat, para nabi, orang saleh, batu, dan pohon.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Q.s. Al-Anbiya:25)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul untuk tiap umat (agar menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’….” (Q.s. An-Nahl:36)

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelummu, ‘Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?’” (Q.s. Az-Zukhruf:45)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.s. Adz-Dzariyat:56)

Dengan demikian, bisa diketahui bahwa tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk-Nya adalah supaya mereka beribadah dan bertauhid kepada-Nya. Lalu Dia mengutus rasul-rasul kepada para hamba-Nya agar mereka memerintahkan hal itu.

***

Apakah perkara terpenting yang Allah perintahkan? Apa pula perkara terpenting yang Allah larang?

Jawab:

  • Perkara terpenting yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah kepada-Nya.
  • Larangan terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peringatkan adalah syirik, yaitu menyeru dzat lain bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menyerahkan sebagian macam ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barang siapa yang menyerahkan satu bentuk ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia telah menjadikannya sesembahan dan dia telah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya, atau menujukan sebagian dari macam-macam ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

***

Apakah makna “al-urwatul wutsqa” (tali yang sangat kuat)?

Jawab:

Maknanya adalah “la ilaha illallah”.

  • La ilaha: nafi; menunjukkan penolakan terhadap seluruh sesembahan selain Allah.
  • Illallah: itsbat; menunjukkan penetapan bahwa seluruh ibadah hanya berhak untuk Allah.

***

Perbuatan apakah yang paling utama sesudah mengucap dua kalimat syahadat?

Jawab:

Yang paling utama adalah mendirikan shalat lima waktu.

Syarat-syarat shalat yang terpenting:

  • Islam.
  • Berakal.
  • Tamyiz.
  • Menghilangkan hadats.
  • Menghilangkan najis.
  • Menutup aurat.
  • Menghadap kiblat.
  • Telah masuk waktunya.
  • Berniat (dalam hati; tanpa perlu dilafalkan dengan lisan, red.).

Rukun-rukun shalat:

  • Berdiri apabila mampu.
  • Takbiratul ihram.
  • Membaca surat Al-Fatihah.
  • Rukuk.
  • Bangkit dari rukuk.
  • Sujud di atas tujuh anggota badan (dahi, kedua telapak tangan, jari-jemari kaki kanan dan kaki kiri, hidung, serta bibir).
  • Bangkit dari sujud.
  • Duduk di antara dua sujud.
  • Tuma’ninah (melaksanakan dengan tenang) dalam semua rukun ini.
  • Tertib.
  • Tasyahud akhir.
  • Duduk tasyahud akhir.
  • Salawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Salam.

Kewajiban-kewajiban dalam shalat:

  • Semua takbir selain takbiratul ihram.
  • Membaca “subhana rabbiyal ‘azhim” (atau doa-rukuk lainnya, red.) ketika rukuk.
  • Ucapan “sami’allahu li man hamidah” bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
  • Doa “rabbana wa lakal hamdu” bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian.
  • Doa “subhana rabbiyal a’la” (atau doa-sujud lainnya, red.) ketika sujud.
  • Ucapan “rabbighfirli” ketika duduk di antara dua sujud.
  • Tasyahud awal.
  • Duduk ketika tasyahud awal.

Adapun selain perincian di atas maka hal tersebut adalah sunnah, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

***

Apa kewajibanku jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan suatu perkara kepadaku?

Jawab:

  • Mengilmuinya.
  • Mencintainya.
  • Bertekad untuk mengamalkannya.
  • Mengerjakannya.
  • Mengerjakan hal yang disyariatkan tersebut dengan ikhlas dan benar (sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.).
  • Berhati-hati terhadap segala hal yang dapat membatalkan amalan tersebut.
  • Istiqamah di atasnya.

***

Manakah yang lebih utama: orang miskin yang bersabar atau orang kaya yang bersyukur?

Jawab:

Adapun perihal si kaya dan si miskin serta orang yang bersabar dan orang yang bersyukur, keduanya termasuk kaum mukminin yang paling utama. Yang paling afdal di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (Q.s. Al-Hujurat:13)

***

Tuliskanlah nasihat untukku!

Jawab:

Pertama kali yang aku nasihatkan kepadamu adalah hendaknya engkau memerhatikan segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa dari sisi Allah Subhananu wa Ta’ala segala sesuatu yang dibutuhkan manusia.

Tidaklah ada sesuatu pun yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan surga-Nya, melainkan telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Tidak pula ada sesuatu pun yang bisa menjauhkan mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mereka darinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegakkan hujjah kepada makhluk-Nya hingga hari kiamat. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi seorang pun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesudah diutusnya Muhammad shalallahu ‘alaih wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau shalallahu ‘alaih wa sallam dan para rasul,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

Sesungguhnya Kami telah memberi wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberi wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah memberi wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Kami juga memberikan Zabur kepada Daud.” (Q.s. An-Nisa’:165)

Hingga firman-Nya,

لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

… Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Q.s. An-Nisa’:165)

**

Diringkas dari buku 50 Soal Jawab Seputar Aqidah (Judul Asli: Dalailut Tauhid), karya Muhammad bin Sulaiman At-Tamimi. Pustaka Al-Minhaj, Jawa Tengah.

*) Penyuntingan oleh redaksi www.muslimah.or.id

Definisi Tauhid

$
0
0

Tauhid berasal dari kata وحد  – يوحد  – توحيدا , yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meyakini keesaan-Nya tanpa menyekutukan-Nya dalam rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-Nya, dan uluhiyah serta dalam ibadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Esa walaupun manusia tidak mengesakan-Nya.

Mengesakan Allah dalam hal ibadah disebut tauhid karena seorang hamba dengan keyakinannya itu telah mentauhidkan Allah. Ketika dia meyakini keesaan Allah, dia akan beramal sesuai keyakinannya, dengan mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah dan berdoa kepada Allah. Mengimani bahwasanya Allah pengatur semua urusan dan pencipta seluruh makhluk, Dia pemilik asmaul husna dan sifat yang sempurna, dan hanya Allah saja yang berhak untuk diibadahi dan bukan selain-Nya.

Jika dirinci, Tauhid dibagi atas 3 jenis, yaitu:

1. Tauhid rububiyah,

2. Tauhid uluhiyah,

3. Tauhid asma wa sifat

Tauhid rububiyah diyakini juga oleh kaum musyrikin dan tidak ada yang mengingkarinya, akan tetapi hal ini tidak memasukkan mereka kedalam Islam karena mereka tidak mengesakan ibadah hanya kepada Allah, dan mereka tidak mengimani Allah dalam hal tauhid uluhiyah. Kaum musyrikin sepakat bahwasanya Rabb mereka adalah yang menciptakan dan yang memberi rizki,dan Allah adalah Rabb mereka, akan tetapi mereka tidak mengesakan Allah dalam ibadah. Karena itu, nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam memerangi mereka sampai mereka mau untuk beribadah hanya kepada Allah semata.

***

Muslimah.Or.Id
Sumber: Kitab  فتاوى ابن باز Jilid Pertama
Diterjemahkan oleh Eidda Ria Agustina Ummu Humaira’
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Mengambil Pelajaran Dari Konsep Cagar Budaya

$
0
0

Di negeri kita, banyak ditemukan bangunan bersejarah, bahkan sebagiannya telah diklasifikasikan sebagai cagar budaya. Akibatnya, bangunan kuno tersebt tidak boleh dihancurkan dan kalaupun dipugar, maka harus dibangun kembali seperti sedia kala, bahannya boleh baru namun bentuk dan modelnya harus mengikuti bentuk semula.

Apabila anda melanggar ketentuan ini niscaya anda berurusan dengan penegak hukum, dan sudah tentu urusannya bisa panjang, seakan akan anda telah berbuat kejahatan besar.

Kalau anda bertanya; apa sih konsep adanya cagar budaya tersebut? Jawabannya sederhana: kenangan sejarah agar anak cucu mengenal masa lalu atau alasan serupa lainnya.

Wah, simpel sekali kalau begitu? Ya nampaknya memang begitu.

Nah, kalau bangunan cagar budaya tidak boleh dirubah harus dipertahankan dan ternyata perilaku semacam ini dapat diterima bahkan menjadi kesepakatan internasional, lalu mengapa banyak yang sewot bila kita berusaha mempertahankan kemurnian agama?

Urusan agama tidak boleh dirubah bentuk fungsi dan tatacaranya. Kalaupun terjadi “pemugaran” maka harus dikembalikan seperti sedia kala alias “tajdid”. Mengapa banyak ummat islam yang dapat menerima konsep “cagar budaya” namun menentang upaya pemurnian agama yang artinya ialah menerapkan islam seperti yang diamalkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama sahabatnya?

Padahal bila kita memurnikan agama seperti sediakalanya maka dijamin benar dan sesuai petunjuk nabi. Namun bila kita mempertahankan cagar budaa maka sangat menyusahkan, biaya perawatannya mahal, kegunaannya kurang maksimal dan alih-alih bisa mengancam keselamatan karena kondisi bangunan yang telah rapuh.

Ayo sobatku! Kita semua mengenal Islam yang murni dan mengamalkannya serta membersihkan diri dari segala bentuk modifikasi alias bid’ah dalam urusan ibadah kepada Allah.

Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Artikel Muslimah.Or.Id

Mengenal Syirik Ashghar (Syirik Kecil)

$
0
0

Karena kebodohan kita, seringkali kita meremehkan perbuatan dosa tertentu padahal perbuatan tersebut sangat besar nilainya (dosanya) di sisi Allah Ta’ala. Di antara bentuk dosa yang seringkali luput dari perhatian kita adalah syirik ashghar. Beberapa bentuk syirik ashghar sangat berkaitan dengan amalan hati, sehingga mungkin tidak tampak secara nyata dalam bentuk amal lahiriyah yang bisa dilihat. Bisa jadi seseorang tanpa sadar terjatuh ke dalam syirik ashghar karena tidak memperhatikan ke manakah hatinya condong, kepada Allah atau kepada selain Allah? Kesyirikan adalah perbuatan dosa yang sangat samar dan tersembunyi. Bisa jadi kita telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik tanpa kita sadari karena kebodohan kita sendiri. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

الأَنْدَادُ هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ، فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ

“(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam.[1]

Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini, kami ingin menjelaskan sedikit tentang syirik ashghar , sehingga kita tidak serta merta meremehkan bentuk dosa yang satu ini. [2]

Syirik Akbar vs Syirik Ashghar

Syirik kepada Allah Ta’ala dibagi menjadi dua macam, yaitu syirik akbar dan syirik ashghar. Syirik akbar adalah perbuatan syirik yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, menghapuskan seluruh amal, dan pelakunya kekal di neraka. Sedangkan syirik ashghar, maka tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun mengurangi derajat tauhid seseorang. Syirik ashghar hanya menghapus amal yang tercampur dengan syirik ashghar tersebut (bukan semua amal) dan tidak terancam kekal di neraka.

Adapun pengertian syirik ashghar, maka terdapat dua pendapat di kalangan para ulama. Pendapat pertama, syirik ashghar adalah segala sesuatu yang disebut dengan istilah syirik oleh dalil-dalil syariat, namun terdapat juga dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut tidak termasuk ke dalam syirik akbar. Contohnya, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat syirik.” [3]

Yang dimaksud dengan syirik dalam hadits tersebut adalah syirik ashghar, karena terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa semata-mata bersumpah dengan selain Allah Ta’ala tidaklah mengeluarkan seseorang dari agama Islam.

Pendapat kedua, syirik ashghar adalah setiap sarana atau jalan menuju syirik akbar, meskipun syariat tidak menyebutnya dengan istilah syirik [4]. Contohnya, seseorang bersandar kepada sesuatu sebagaimana dia bersandar kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dia tidak menjadikan sesuatu tersebut sebagai sesembahannya. Maka ini adalah syirik ashghar, karena penyandaran hati ini –yang persis dengan bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala- pada akhirnya akan menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam syirik akbar.

Definisi yang kedua ini lebih luas daripada definisi yang pertama karena pendapat pertama tidak memasukkan suatu perbuatan sebagai kesyirikan kecuali jika terdapat dalil yang menyebutkan bahwa perbuatan tersebut adalah syirik, sedangkan pendapat ke dua menjadikan seluruh perbuatan yang merupakan sarana kesyirikan (menuju syirik akbar) sebagai syirik ashghar.

Apakah Syirik Ashghar mungkin Diampuni Tanpa Taubat?

Lalu, di antara kedua bentuk syirik tersebut, manakah yang tidak diampuni apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa dosa syirik tidak diampuni oleh Allah Ta’ala apabila seseorang tidak bertaubat sampai meninggal dunia, meskipun syirik ashghar. Hal ini karena termasuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa’ [4]: 48).

Menurut beliau rahimahullah, “dosa syirik” dalam firman Allah Ta’ala tersebut bersifat umum, mencakup baik syirik akbar maupun syirik ashghar. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dosa syirik” dalam ayat tersebut adalah syirik akbar. Adapun syirik ashghar, maka ada kemungkinan diampuni karena tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Hal ini karena seluruh dosa yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam statusnya terserah pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, akan diampuni. Dan jika Allah Ta’ala menghendaki, tidak akan diampuni. [5]

Meskipun demikian, pelaku syirik ashghar berada dalam bahaya yang amat nyata karena tingkatan dosa syirik ashghar tersebut “lebih besar” daripada dosa besar yang paling besar (akbarul kabaa-ir), seperti mencuri, berzina, membunuh, dan lain-lain. Apalagi jika dosa syirik ashghar itu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

لأَنْ أَحْلِفَ بِاللهِ كَاذِباً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ صَادِقاً

“Bersumpah bohong dengan menyebutkan nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebutkan nama selain-Nya.” [6]

Hal ini karena dosa bersumpah dengan selain Allah Ta’ala (yang termasuk syirik ashghar) lebih berat dosanya daripada dosa berbohong (sumpah palsu). Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan bentuk dosa yang satu ini (syirik ashghar), bahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ

Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan menimpa kalian adalah syirkul ashghar (syirik kecil).Maka para shahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud dengan syirkul ashghar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Ar-riya’.” [7]

Di antara bentuk usaha yang harus kita lakukan adalah dengan mempelajari rincian dosa syirik ashghar sehingga kita senantiasa waspada dan tidak terjerumus ke dalamnya. [8]

 

Catatan kaki:

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 1/196.

[2] Pembahasan ini disarikan dari Al-Qoulul Mufiid, 1/206-208.

[3] HR. Abu Dawud no. 3251. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahaih wa Dha’if Sunan Abu Dawud.

[4] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Al-Qoulus Sadiid, hal. 24.

[5] Di antara kesalahpahaman yang tersebar di masyarakat awam adalah bahwa ketika seseorang melakukan syirik akbar, maka tidak akan pernah diampuni oleh Allah Ta’ala meskipun bertaubat sebelum meninggal dunia dengan berdalil surat An-Nisa’ ayat ke-48 di atas. Ini adalah pemahaman yang keliru. Karena ayat di atas hanya berlaku pada dosa syirik yang dibawa mati. Adapun jika seseorang berbuat syirik akbar, kemudian menyadari dan bertaubat kepada Allah Ta’ala, maka baginya berlaku ayat berikut ini,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).

Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mengampuni semua jenis dosa, termasuk dosa syirik akbar, jika bertaubat sebelum meninggal dunia.

[6] HR. Abdur Razaq (VIII/15929). Disebutkan pula oleh Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ (IV/177). Al-Haitsami berkata,”Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir, dan rijalnya shahih”.

[7] HR. Ahmad no. 27742.

[8] Artikel ini disarikan dari buku penulis yang berjudul: “Kesaktian Batu Ajaib, Bukti Runtuhnya Aqidah Umat” yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta tahun 2010]

 

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Muslimah.Or.Id

Perayaan Natal dan Aqidah Al-Wala’ wal Al-Bara’ yang Dianggap Usang (1)

$
0
0

Aqidah al-wala’ dan al-bara’ merupakan salah satu konsekuensi dari tauhid. Seseorang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dan taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya mencintai dan loyal kepada orang-orang yang memusuhi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah saudaranya yang paling dekat.

Pengertian dan Kedudukan Aqidah Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam Islam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa pada asalnya, kata al-wala’ berarti cinta dan dekat, sedangkan kata al-bara’ berarti benci dan jauh. [1] Sehingga yang dimaksud dengan al-wala’ adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati, serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya baik secara lahir maupun batin. Adapun yang dimaksud dengan al-bara’ adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan memberikan permusuhan.

Di antara pokok aqidah Islam adalah wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan al-wala’ dan al-bara’ ini. Sehingga dia mencintai sesama muslim lainnya dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik. Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (kekasih) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. At-Taubah [9]: 23).

Al-wala’ dan al-bara’ merupakan konsekuensi dari rasa cinta kita kepada Allah Ta’ala. Orang yang mencintai Allah, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah, yaitu dengan mencintai yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci. Di antara yang dicintai Allah Ta’ala adalah ketaatan dan orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah Ta’ala benci adalah kemaksiatan, kekafiran, kemusyrikan, serta syi’ar-syi’arnya.  Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka(QS. Al-Mujadilah [58]: 22).

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia“ (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir secara umum. Kemudian Allah tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada Yahudi dan Nasrani secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-Maidah [5]: 51).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak akan pernah terjadi adanya orang-orang mukmin yang mencintai dan memberikan loyalitas kepada orang kafir, baik orang kafir secara umum, ataupun orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. [2] Jika ada orang mukmin yang mencintai orang kafir, maka ketahuilah bahwa dia bukan orang mukmin, meskipun dia mengklaim dirinya sebagai seorang mukmin. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kecintaan kepada orang kafir meniadakan iman kepada Allah dan hari akhir, baik menghilangkan iman secara total atau hanya sebagian saja. Jika kecintaan kepada orang kafir itu menyebabkan seseorang mendukung dan membela kekafiran mereka, maka perbuatan ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Namun jika hanya semata-mata rasa cinta yang tidak sampai membela dan mendukung kekafiran mereka, maka hal ini dapat mengurangi dan melemahkan iman. [3]

Kepada Siapakah Kita Bersikap Wala’ atau Bara’?

Dilihat dari sisi wala’dan bara’, terdapat tiga jenis golongan manusia.

Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum. Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah lebih besar daripada kecintaan kita kepada anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.

Kedua, adalah orang-orang yang harus kita benci secara mutlak, tidak boleh kita cintai sama sekali. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,

تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ

”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam siksaan” (QS. Al-Maidah [5]: 80).

Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci dari sisi yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan. Sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Namun, kita mencintai mereka karena keimanan mereka, dan kita juga membenci mereka karena maksiat yang mereka kerjakan. Hal ini dengan catatan bahwa maksiat yang mereka lakukan adalah maksiat yang tingkatannya di bawah kesyirikan dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan, bahkan kita wajib mengingkarinya, memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari perbuatan munkar. Apabila memiliki kewenangan, kita juga dapat menghukum mereka, sehingga mereka berhenti melakukan maksiat tersebut dan bertaubat dari kesalahannya. [4].

[bersambung ke Perayaan Natal dan Aqidah Al-Wala’ wal Al-Bara’ yang Dianggap Usang (2) ]

 

(Selesai disempurnakan di Sabtu pagi yang cerah, menjelang zuhur 20 Shafar 1436)

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Al-Furqon baina Auliya-irrahman wa Auliya-isy Syaithan, hal. 27, cetakan Maktabah Al-Furqon, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali.

[2] Lihat penjelasan Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqod, hal. 248, cetakan pertama, tahun 2006, Maktabah Salsabila.

[3] Diringkas dari penjelasan Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Tsalatsatul Ushuul, hal. 48-49, cetakan pertama, tahun 1427, Daar Al-Imam Ahmad.

[4] Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islaam karya Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan, hal. 92-96

 

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Muslimah.Or.Id

Perayaan Natal Dan Aqidah Al-Wala’ Wal Al-Bara’ Yang Dianggap Usang (4)

$
0
0

Aqidah Al-Wala’ wal Bara’ Mengajarkan Kezaliman?

Berbagai tuduhan dialamatkan kepada agama Islam berkaitan dengan aqidah al-wala’ wal bara’ ini. Islam dituduh intoleran, tidak menghormati agama lain, atau mengajarkan permusuhan, kebencian dan kedzaliman terhadap agama non-muslim dan para pemeluknya. Di antara mereka berdalih bahwa mengucapkan selamat Natal hanyalah ucapan ringan di mulut yang tidak memiliki konsekuensi apa-apa selama yang mengucapkan selamat tersebut tidak pindah agama, lantas untuk apa dilarang? Juga sebagai bentuk saling menghormati antar-umat beragama sebagaimana mereka juga mengucapkan selamat atas hari besar umat Islam. Semua ini tidak lain karena ketidaktahuan kaum muslimin terhadap aqidah yang satu ini.

Sungguh orang-orang yang membenci aqidah al-wala’ wal bara’ ini tidak mengetahui bagaimanakah Islam mengajarkan untuk bersikap adil terhadap orang kafir. Oleh karena itu, berkaitan dengan aqidah al-wala’ wal al-bara’ ini, ada beberapa catatan penting yang perlu penulis sampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman berkaitan tentang hal ini, juga sebagai bentuk pembelaan atas aqidah yang agung ini.

Pertama, kebencian kita terhadap orang kafir tidaklah menghalangi kita untuk tetap berdakwah kepada mereka. Meskipun kita membenci dan memusuhi mereka, wajib bagi kita untuk berdakwah kepada mereka dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Karena bisa jadi Allah Ta’ala lantas memberikan hidayah-Nya kepada orang kafir tersebut melalui perantaraan dakwah kita. Sedangkan pada asalnya, dakwah tidaklah mungkin kita lakukan dengan sikap keras, permusuhan, dan dengan akhlak buruk yang menunjukkan kebencian kita kepada mereka karena hal ini bertentangan dengan sikap hikmah dalam berdakwah.

Kedua, bara’ kita kepada mereka tidaklah berarti kita tidak boleh membuat perjanjian damai dengan mereka selama memang dibutuhkan. Jika kaum muslimin membutuhkan untuk membuat perjanjian damai dengan mereka, misalnya karena kaum muslimin dalam kondisi lemah yang tidak mungkin memerangi mereka, atau dikhawatirkan mereka berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka tidak mengapa jika kita berdamai dengan mereka sampai kaum muslimin memiliki kekuatan untuk memerangi mereka. Oleh karena itu, perjanjian damai ini sifatnya hanya sementara saja, yang terikat dengan waktu tertentu, sesuai dengan kebaikan (maslahat) yang dilihat oleh penguasa (pemerintah) kaum muslimin.  Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Ketiga, bara’ kita kepada mereka tidaklah menghalangi kita untuk membalas kebaikan mereka –dengan balasan yang sepadan- jika memang mereka berbuat baik kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).

Keempat, kebencian kita kepada mereka tidaklah berarti tidak boleh mencintai mereka sebatas cinta yang bersifat tabiat atau memang naluri seorang manusia. Misalnya mencintai orang tua yang statusnya masih kafir, karena bagaimana pun, orang tua juga mempunyai hak atas kita. Akan tetapi, tidaklah boleh mencintai mereka dengan cinta yang tulus dari hati (mahabbah qolbiyyah). Kita juga tidak boleh menaati mereka untuk melakukan atau mendukung kekafiran mereka. Cukup bagi kita untuk membalas kebaikan mereka karena memang mereka yang telah merawat kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman [31]: 14-15).

Bukti lainnya, Allah Ta’ala membolehkan bagi laki-laki yang beriman untuk menikah dengan wanita ahli kitab. Padahal, tidak mungkin kita menikahi seseorang dalam kondisi tidak mencintainya sama sekali. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bolehnya cinta yang bersifat thabi’i (tabiat atau naluri) kepada orang kafir. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai pamannya, yaitu Abu Tholib, padahal kita mengetahui bahwa status Abu Tholib adalah kafir sampai meninggal dunia, namun cinta beliau kepada pamannya hanyalah sebatas cinta yang bersifat thabi’i (karena beliau adalah pamannya) dan tidak sampai cinta yang bersifat syar’i atau cinta atas dasar agama. [1]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al Qashash [28]: 56).

Kelima, boleh untuk memenuhi undangan mereka dan menyantap hidangan yang mereka sediakan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keenam, kita juga tetap harus berbuat baik kepada orang kafir yang merupakan tetangga kita karena mereka mempunyai hak-hak sebagai tetangga.

Ketujuh, tidak boleh berbuat zalim kepada mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Maidah [5]: 8). [2]

Kedelapan, boleh untuk menghadiri prosesi pemakaman mereka selama ada maslahat (kebaikan) dan tidak dalam rangka mendoakan ampunan untuk mereka. [3]

Saudara-saudaraku, lihatlah bagaimana Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang kafir, namun tanpa mengorbankan aqidah kita sebagai seorang muslim. Renungkanlah hal ini!

Sebagai penutup pembahasan ini, kami sampaikan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Dia berkata, ‘Kapankah kiamat itu?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab, ‘Apa yang sudah Engkau siapkan untuknya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

«أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» . قَالَ أَنَسٌ: فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ، فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» قَالَ أَنَسٌ: «فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ»

”Engkau akan bersama dengan orang yang Engkau cintai.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kami tidak pernah bergembira sebagaimana kegembiraan kami dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang Engkau cintai.’  Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,”Kalau begitu, aku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama-sama dengan mereka karena kecintaanku kepada mereka. Meskipun aku tidak bisa beramal sebagaimana amal mereka.” [4]

Lalu, bagaimana kalau yang dicintai adalah orang-orang kafir yang terancam kekal di neraka? Wal ‘iyadhu billah.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

Diselesaikan pada Sabtu siang menjelang asar, 20 Shafar 1436

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Catatan kaki:

[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/246 (Maktabah Asy-Syamilah)

[2] Penjelasan ini penulis ringkas dari perkataan Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Tsalaatsatul Ushuul, hal. 51-53. Kemudian penulis tambahkan dari keterangan yang disampaikan oleh guru penulis, Ustadz Aris Munandar, SS, MPI, ketika membahas kitab At-Tanbihat Al-Mukhtasharah.

[3] Lihat penjelasan sahabat dan guru kami, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc di:

http://rumaysho.com/aqidah/menghadiri-prosesi-jenazah-non-muslim-9462

[4] HR. Bukhari no. 3688 dan Muslim no. 161.

 

Artikel Muslim.Or.Id

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

$
0
0

Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas petunjuk dan agama yang lurus. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada beliau dan orang-orang yang senantiasa mengikuti ajaran beliau hingga hari Kiamat kelak. Amma ba’d.

Saudariku yang saya cintai karena Allah, perlu kita ketahui bahwasanya mengenal Dzat yang menciptakan kita merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mengenal Rabbnya? Bukankah di alam kubur nanti kita akan ditanya oleh malaikat, “Siapakah Rabbmu?” Dan tentu saja orang-orang yang teguh imannya dan mereka mengenal Rabbnya di dunia yang mampu menjawab. Lalu kita akan bertanya, “Bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya sama sekali.”

Diantara cara mengenal Allah Ta’ala adalah mengenal nama dan sifat-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan hadist nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kesempatan kali ini, izinkan saya untuk menulis sedikit mengenai sifat Allah yaitu Qurbullah min kholqihi (Kedekatan Allah dengan hamba-Nya) dan Ma’iyyatullah li kholqihi (Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya). Semoga kita semua selalu diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Aamiin.

Manhaj Salaful Ummah dalam Kaidah Asma’ wa Shifat

Sebelum kita mengetahui apa itu Kedekatan dan Kebersamaan Allh dengan Hamba-Nya, sedikit saya bahas disini bagaimana kaidah para salaf -para pedahulu kita dalam Islam dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, yang disebut juga dengan ahlussunnah wal jama’ah- dalam memahami nama dan sifat Allah. Hal ini ditujukan agar kita memahami dengan kaidah yang shahih, karena para sahabat nabi adalah generasi yang langsung ditarbiyah oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga yang paling mendekati kebenaran.

Adapun kaidah ahlussunnah wal jama’ah tentang nama dan sifat Allah yang harus kita yakini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Diantara iman kepada Allah adalah mengimani segala yang Allah sifatkan tentang diri-Nya di dalam kitab-Nya (al-Qur’an -pen) dan apa yang Rasul sifatkan tentang Allah (al-Hadist -pen) tanpa tahrif (dirubah), ta’thil (ditiadakan), takyif (dibagaimanakan), dan tamtsil (diserupakan dengan makhluk). Tetapi mereka beriman bahwasanya Allah Subahanahu wa Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syura: 11) [1]

Mengapa kita harus memahami nama dan sifat Allah melalui kitab dan sunnah? Jawabannya masih dalam perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Karena Allah Subhanahu adalah Dzat yang paling mengetahui tentang diri-Nya bukan selain-Nya, yang paling benar perkataan-Nya, dan yang paling baik ucapan-Nya. Adapun Rasulullah adalah manusia yang paling jujur perkataannya.” [2]

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

Makna kedekatan Allah dengan hamba-Nya adalah Allah Subhanahu Maha dekat dengan orang-orang yang berdo’a dan yang bermunajat kepada-Nya, Maha Mendengar do’a dan bisik-bisik hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan do’a para hamba-Nya kapan saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki, maka Allah Maha dekat dengan ilmu-Nya dan pengawasan-Nya. [3]

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي ‎وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. al-Baqarah: 186)

Sedangkan makna kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang merupakan makna Rububiyah-Nya. [4]

Makna tersebut adalah makna yang dijelaskan oleh para Imam ahli tafsir dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4)

Diantara yang menafsirkan adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

“Dia maha mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua) ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan.” [5]

Pembagian Ma’iyyah Allah

Para ulama membagi ma’iyyah menjadi 2, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah:

  1. Ma’iyyah ‘Ammah (Ma’iyyah Umum)
    Adalah kebersamaan Allah dengan seluruh hamba-Nya dalam pengawasan dan penglihatan-Nya, mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya baik perbuatan yang baik atau buruk, dan Dzat yang membalas semua perbuatan mereka.
  2. Ma’iyyah Khoshshoh (Ma’iyyah Khusus)
    Adalah kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang beriman saja, yaitu dengan pertolongan-Nya dan penjagaan-Nya. [6]

Lalu, Dimanakah Allah?

Setelah kita mengetahui bahwasanya Allah itu Maha dekat dan bersama dengan hamba-Nya, mungkin ada diantara kita yang bertanya, “Lalu, dimanakah Allah? Jika dia dekat dan bersama hamba-Nya berarti Allah berada di sekitar kita? Berarti Allah ada dimana-mana?”.

Tentu saja ini pernyataan yang salah saudariku, karena Allah tetap beristiwa’ di atas ‘Arsy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

“Telah disebutkan perkara iman kepada Allah (dalam nama dan sifat-Nya -pen) adalah beriman kepada semua yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya, hadist mutawatir dari Rasul-Nya, dan kesepakatan (ijma’) ulama salaf. Diantara perkara tersebut adalah Allah Subhanahu berada di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas para makhluk-Nya, Dan Allah Subhanahu bersama dengan mereka dimanapun mereka berada, Mengetahui apa saja yang mereka kerjakan. Sebagaimana Allah menggabungkan sifat-sifat tersebut dalam firman-Nya,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadid: 4) [7]

‘Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhhuma, yang merupakan ulama tafsir dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhhum , menafsirkan kalimat “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” dalam QS. al-Hadid ayat 4 di atas:

[وَهُوَ مَعَكُمْ] “Dia (Allah) Mengetahui kalian,
[أَيْنَ مَا كُنتُمْ] baik di darat maupun di lautan.” [8]

Adapun kata ma’a tidak harus bersatu di dalam satu tempat, adanya percampuran dan saling bersentuhan. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menuliskan bantahan dari syubhat ini:

  1. Tidak terdapat dalam kaidah bahasa Arab bahwa kata ma’a harus bersatu dalam satu tempat, adanya percampuran, dan saling bersetuhan.
  2. Menyelisihi ijma’ salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
  3. Menyelisihi fitrah manusia bahwasanya Allah Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya..
  4. Menyelisihi al-Qur’an dan al-Hadist bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. [9]

Disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Maha dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Maknanya Allah Maha mendengar dan mengabulkan do’a hamba-Nya, serta bersama seluruh hamba-Nya dengan ilmu-Nya, dan keduanya tidak menafikan istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy. Maka sudah sepantasnya kita berhenti pada perkataan ini saja, tanpa mengubah maknanya sebagaimana sikap para sahabat dan ulama salaf.

Renungan Bagi Kita Semua

Saudariku yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, kita telah bersama-sama mengetahui makna dari kedua sifat Allah di atas. Kita tahu bahwa Allah bersama kita dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, dan kekuasaan-Nya. Akan tetapi mengapa dengan mudahnya kita bermaksiat kepada Dzat yang melihat gerak-gerik kita? Tidakkah kita takut dengan adzab Allah yaitu neraka menyala-nyala yang panasnya 70 kali lipat panasnya api dunia?

Kita tahu bahwa Allah Maha dekat dengan mendengar dan mengabulkan do’a para hamba-Nya, akan tetapi mengapa kita masih saja enggan berdo’a? Padahal seorang hamba sangatlah butuh kepada Rabbnya. Untuk itu marilah kita kembali berbenah saudariku, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di kerongkongan. Semoga tulisan ini bermanfaat terkhusus untuk penulis dan dapat mengingatkan kita semua akan kebesaran dan kekuasaan Allah.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Ummu Uwais Bondan Asrini Ariefah

Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji':
[1] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[2] Idem.
[3] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 197, Muhammad Khalil Kharras.
[4] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 401, Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin.
[5] Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah.
[6] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 79, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
[7] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[8] Tafsir Ibnu Abbas, Maktabah Syamilah.
[9] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 115, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan

Artikel muslimah.or.id


Iman kepada Asma wa Sifat Allah serta Keutamaannya

$
0
0

Hakikat Iman Kepada Nama dan Sifat Allah

Beriman kepada nama dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan pada diri-Nya di dalam al-Qur’an, atau di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan yang layak bagi Allah, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tanpa tamtsil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 180)

Allah juga berfirman,

وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. ar-Rum: 27)

Dan Allah juga berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.  asy-Syura: 11)

Kelompok yang Menyimpang dalam Nama dan Sifat Allah

Dalam masalah ini, telah tersesat dua kelompok:

Pertama, al-Mu’aththilah yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau sebagiannya. Mereka mengklaim, jika kita menetapkan  nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka kita melazimkan tasybih, yaitu menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya.

Klaim ini batil pada beberapa sisi:

  1. Hal tersebut melazimkan kelaziman-kelaziman yang batil.
    Di antaranya, berarti ada kontradiksi dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Ta’ala telah menetapkan pada diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat dan Allah menafikan bahwasanya ada sesuatu yang semisalnya. Andaikan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah itu melazimkan tasybih, maka ini merupakan kontradiksi pada kalam Allah, dan berarti ayat-ayat al-Qur’an itu saling mendustakan.
  1. Kesamaan antara dua hal dalam sifat atau nama tidak berarti keduanya sama persis.
    Jika anda melihat dua orang yang mereka sama-sama manusia yang mendengar, melihat, berbicara, ini tidak berarti bahwa mereka sama persis dalam sifat-sifat manusiawinya,  pendengarannya, penglihatannya, dan perkataannya. Dan anda juga melihat hewan-hewan memiliki tangan, kaki, mata, itu tidak berarti hewan-hewan tersebut tangan-tangannya, kaki-kakinya, dan mata-matanya semuanya sama. Maka jika telah jelas perbedaan antara makhluk-makhluk dalam hal yang sama namanya maupun sifatnya, maka berbeda pula antara al-Khaliq (Maha Pencipta) dengan makhluk, dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.

Kedua, al-Musyabbihah yaitu kelompok yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka berdalih bahwasanya hal ini ditunjukkan oleh nash-nash yang ada. Karena  Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada hamba-hamba dengan yang mereka pahami.

Dan dalih ini batil dalam beberapa sisi :

  1. Bahwasanya menyerupakan Allah dengan makhluk adalah perkara yang batil.
    Batil menurut akal dan syari’at. Dan tidak mungkin yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perkara yang batil.
  1. Sesungguhnya Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan yang mereka pahami.
    Difahami dari sisi asal makna. Sedangkan dari sisi hakikatnya yang ditunjukkan makna tersebut adalah disesuaikan dengan yang layak bagi Allah Ta’ala, dan sesuai dengan ilmu Allah dalam hal yang terkait dengan dzat-Nya dan sifat-Nya.
    Jika Allah menetapkan pada diri-Nya bahwa Allah Maha Mendengar, maka sesungguhnya istilah as-sam’u (pendengaran) itu sudah diketahui dari makna asalnya (yaitu tersampaikannya suara). Akan tetapi, dari sisi hakikatnya, jika terkait dengan pendengaran Allah, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari pendengaran itu berbeda-beda. Bahkan berbeda-beda pada para makhluk, lebih jelas dan lebih besar perbedaannya. Jika Allah Ta’ala mengabarkan pada diri-Nya bahwasanya Allah istiwa diatas ‘arsy, maka sesungguhnya istiwa dilihat dari sisi makna asal yang telah diketahui maknanya. Akan tetapi, hakikat istiwa jika terkait dengan istiwa Allah di atas ‘arsy, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari istiwa itu pun berbeda-beda pada makhluk. Maka bukanlah istiwa itu menetap di atas kursi atau sebagaimana istiwa seseorang di atas pelana unta tunggangan. Jika pada makhluk saja berbeda, berbeda juga antara al-Khaliq dan makhluk dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.

Keutamaan Iman Kepada Nama dan Sifat Allah

Beriman kepada Allah Ta’ala terhadap apa yang telah kami jelaskan membuahkan faidah yang agung kepada kaum mukminin, diantaranya:

  1. Menguatkan tauhid kepada Allah Ta’ala dari sisi tidak akan bergantung kepada selain-Nya, baik dalam raja’ (harap) maupun khauf (takut), dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
  2. Kecintaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala, dan mengagungkan-Nya dengan apa yang ditunjukkan oleh nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
  3. Menguatkan penghambaan kepada-Nya dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh-Nya.

 

[Diterjemahkan dari Syarh Tsalatsatil Ushul Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (hal. 59-60) Darul Kutub Ilmiyyah]

Penyusun: Ummu Sufyan Fera

Pemuraja’ah: Ustadz Raehanul Bahraen

Artikel Muslimah.Or.Id

Empat Kaidah Penting dalam Memahami Syirik dan Tauhid (Terjemah Al Qawaai’dul Arba’)

$
0
0

Aku memohon kepada Allah yang Mulia, Rabb pemilik ‘arsy yang agung. Semoga Allah menjadikanmu wali di dunia dan akhirat dan menjadikan engkau orang yang mendapatkan berkah di manapun engkau berada. Dan menjadikan engkau orang yang bila mendapatkan nikmat selalu bersyukur, jika mendapatkan musibah senantiasa bersabar, jika berbuat dosa segera beristighfar. Maka sesungguhnya ini adalah tiga sumber kebahagiaan.

Ketahuilah -semoga Allah senantiasa menunjuki Anda dalam ketaatan kepada-Nya- bahwasanya milah Ibrahim yang lurus adalah engkau menyembah Allah semata dengan ikhlas. Itulah perintah Alllah kepada seluruh manusia dan itu pula tujuan makhluk diciptakan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat :56).

Dan jika Engkau telah mengetahui bahwasannya Allah menciptakanmu untuk menyembah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasannya ibadah itu tidaklah dinamakan ibadah kecuali disertai tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah dinamakan shalat kecuali disertai dengan thaharah. Jika syirik bercampur dalam ibadah, ia akan merusaknya. Sebagaimana hadats membatalkan thaharah.

Maka apabila engkau telah mengetahui, bahwasanya syirik bila bercampur didalam ibadah ia dapat merusak ibadah itu, membatalkan amalan dan menjadikan pelakunya kekal didalam neraka, engkau akan mengetahui pentingnya atas kalian untuk mengenal dan mengilmui perkara ini. Semoga Allah senantiasa melepaskan engkau dari jeratan itu, yaitu syirik kepada Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa selainnya, bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. An-Nisaa ayat 48).

Dan memahami perkara ini (syirik), yaitu dengan mengetahui empat kaidah. Sesuai dengan yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya engkau mengetahui bahwasanya orang-orang kafir yang memerangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mereka meyakini bahwasanya Allah Ta’ala lah pencipta dan pengatur alam semesta. Akan tetapi itu tidaklah menjadikan mereka Muslim. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah : “Siapakah yang memberi rejeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab “Allah”, maka katakanlah mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus ayat 31)

Kaidah Kedua

Sesungguhnya mereka berkata: “kami menyembah mereka (tandingan-tandingan selain Allah) dan bersimpuh kepada mereka, adalah hanya untuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan meminta syafa’at”.

Dalil tentang qurbah, firman Allah Ta’ala:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) “Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar ayat 3).

Dalil tentang syafa’at, firman Allah Ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan dan mereka berkata “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami disisi Allah”” (QS. Yunus ayat 18)

Syafa’at itu dibagi dua macam, yaitu syafa’at manfiyah dan syafa’at mutsbatah :

  1. Syafa’at manfiyah (yang tertolak) yaitu engkau meminta kepada selain Allah dalam perkara yang hanya Allah yang mampu melakukannya. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

    Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rejeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (QS. Al Baqarah ayat 254).

  2. Syafa’at mutsbatah (syafa’at yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta dari Allah dengan izin dari-Nya. Pemberi syafa’at adalah pihak yang dimuliakan dengan syafa’at dan yang diberi syafa’at adalah pihak yang Allah ridhai perkataannya dan perbuatannya, setelah adanya izin Allah. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

    مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

    Siapakah yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan izin-Nya?” (QS. Al Baqarah ayat 255)

Kaidah Ketiga

Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wassallam hidup di tengah berbagai macam manusia dalam peribadatan mereka. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah para nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah pohon-pohon dan batu-batu, dan ada yang menyembah matahari dan bulan. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerangi mereka semua dan tidak membeda-bedakannya. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu semata-mata untuk Allah” (QS. Al Anfal: 39).

Dalil tentang penyembahan matahari dan bulan, firman Allah Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah, yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (QS. Al Fushilat ayat 37)

Dalil tentang penyembahan malaikat, firman Allah Ta’ala:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan” (QS. Ali Imran ayat 80).

Dalil tentang penyembahan para Nabi, firman Allah Ta’ala:

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : “Jadikanlah aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau mengetahui perkara-perkara yang ghaib” (QS. Al Maiadah ayat 116)

Dalil tentang penyembahan orang-orang shalih, firman Allah Ta’ala:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

“Orang-orang (shalih) yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” (QS. Al Isra: 57)

Dalil tentang penyembahan pohon dan batu, firman Allah Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأُخْرَى

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Latta dan Al Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah” (QS. An Najm ayat 19-20).

Dan hadits Abi Waaqid Al Laitsy,

خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم يقال لها ذات أنواط. فمررنا بسدرة فقلنا: يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط، كما لهم ذات أنواط

Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menuju ke Hunain, ketika itu kami baru saja terbebas dari kekafiran. Kaum musyrikin memiliki pohon bidara yang mereka jadikan tempat i’tikaf, dan menggantungkan senjata mereka padanya. Pohon tersebut dinamakan “dzatu anwath”. Kemudian kami melalui sebatang pohon bidara, dan kami berkata “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki Dzatu anwath

Kaidah keempat

Bahwasanya orang-orang musyrik di zaman lebih parah perbuatan syiriknya dari kaum Musyrikin terdahulu. Dikarenakan mereka (kaum Musyrikin terdahulu) menyekutukan Allah dalam keadaan lapang, tetapi ikhlas kepada Allah dalam keadaan sempit. Sedangkan orang-orang musyrik di zaman sekarang menyekutukan Allah terus-menerus dalam keadaan lapang maupun sempit. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya; tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)“ (QS. Al Ankabuut ayat 65).

Selesai.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wa sallam

 

Penerjemah : Ummu Nadhifah Endang Sutanti

Artikel Muslimah.Or.Id

Pembagian Tauhid Dalam Al Qur’an

$
0
0

Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata wahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid  I/7).

Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 63).

Pembagian Tauhid dalam Al Qur’an   

Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

Perhatikan ayat di atas:

(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah.

(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.

(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.

Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut:

  1. Tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:

    أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

    “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).

  2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:

    ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ

    ”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).

  3. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

    ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11) (Lihat Al-Qaulul Mufiiid  I/7-10).

Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam ma’rifat wal itsbat (pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat Fathul Majid 18).

Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan hasil penelitian para ulama terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan termasuk bid’ah karena memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kaitan Antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}

“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).

Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}

“Katakanlah;” Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1). Raja manusia (2). Sesembahan manusia (3)” (An-Naas: 1-3).

Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia, sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya mencakup makna keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur: “Siapa Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah:

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah” (Al-An’am: 164).

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah” (Fushshilat: 30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah  ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad 27-28).

Isi Al-Qur’an Semuanya Tentang Tauhid

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an menjelaskan hal-hal berikut:

  1. Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan perkataan-Nya. Ini adalah termasuk tauhidul ‘ilmi al khabari (termasuk di dalamnya tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat).
  2. Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at thalabi (tauhid uluhiyah).
  3. Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan menjauhi larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa mukammilatuhu (hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
  4. Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang balasan kemuliaan di dunia dan balasan kemuliaan di akhirat. Ini termasuk jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
  5. Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa siksa di dunia dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang menyelisihi hukum tauhid.

Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya. Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan balasan bagi mereka (Lihat  Fathul Majid 19).

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang pembagian tauhid. Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita di atas jalan tauhid untuk mempelajarinya, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

***

Penyusun: dr. Adika Mianoki (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi)

Artikel Muslimah.Or.Id

 

2 Tujuan Penciptaan Manusia

$
0
0

Segala sesuatu yang Allah ciptakan, baik di langit maupun di bumi pasti ada tujuan dan hikmahnya. Tidaklah semata mata karena hanya suka-suka saja. Bahkan seekor nyamuk pun tidaklah diciptakan sia-sia. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun:115).

Tulisan singkat ini akan membahas 2 tujuan utama penciptaan manusia

1. Mengilmui Tentang Allah

Allah Ta’ala berfirman

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 12).

Allah menceritakan bahwa penciptaan langit dan bumi, agar manusia mengetahui tentang ke Maha Kuasaan Allah Ta’ala, bahwa Allah lah pemilik jagad raya ini dengan ilmu Allah yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terluput dari ilmu dan pengawasan Allah, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu

2. Untuk Beribadah Kepada Allah Semata

Allah Ta’ala berfirman

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata. Ayat ini mengisyaratkan pentingnya tauhid, karena tauhid adalah bentuk ibadah yang paling agung, mengesakan Allah dalam ibadah.

Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya beramal, setelah tujuan pertama manusia diciptakan adalah agar berilmu. Maka buah dari ilmu adalah beramal. Tidaklah ilmu dicari dan dipelajari kecuali untuk diamalkan. Sebagaimana pohon, tidaklah ditanam kecuali untuk mendapatkan buahnya. Karena ilmu adalah buah dari amal.

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi motivasi kita untuk semangat mencari ilmu dan mengamalkan ilmu yang telah di dapatkan. Sebagaimana yang telah Allah sebutkan pada 2 ayat di atas, sebagai konsekuensi kita diciptakan sebagai manusia. Wallahul Muwaffiq.

Penulis: Wiwit Hardi P.

Artikel Muslimah.Or.Id

Mengikir Hati Yang Berkarat

$
0
0

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).”(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Hati dalam bahasa arab قلب dapat digunakan untuk dua hal, yaitu :

  1. Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.
  2. Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain.

Kedua makna tersebut sesuai dengan makna hati secara istilah. Dimana hati adalah bagian paling mulia dan murni dari seluruh bagian tubuh manusia, sehingga benarlah kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Dan hati juga merupakan bagian tubuh manusia yang paling rawan terkena fitnah syubhat dan syahwat, sehingga mudah terbolak-balikkan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu] (HR. Muslim no. 2654).

Dalam istilah kedokteran, hati (قلب) diartikan sebagai jantung, dimana jantung merupakan salah satu organ vital manusia yang dengannya darah dapat dipompa ke seluruh tubuh. Apabila pompa (jantung) tersebut rusak maka terganggulah seluruh proses dalam tubuh akibat darah yang tidak diedarkan dengan baik. Seseorang yang divonis dokter terkena penyakit jantung maka hidupnya akan terasa susah, karena berbagai pantangan (larangan-pen-) makanan mulai mengekangnya, sehingga harta berlimpah bukanlah indikator kebahagiaaan. Kebahagiaan letaknya di dalam hati, dan setiap manusia memiliki hati. Sehingga kebahagiaan itu milik semua orang, baik si kaya maupun si miskin, asalkan ia mampu menata dan membersihkan hatinya dari karat-karat yang mematikan hati.

Allah Ta’ala berfirman,

(يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89

(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).

Ibnu Katsir berkata: “'(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’. Artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya, yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”

Imam Asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya, serta tidak ada pula dendam dan hasad.’ (Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dikeluarkan oleh Ibnu Majah no.4216 dan Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah).

Maka, selayaknya kita sebagai makhluk yang lemah selalu memohon kepada Rabb penguasa hati, agar hati kita selalu dibimbing untuk melakukan ketaatan-ketaatan dan ditetapkan di atas agama-Nya. Salah satu doa yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kami sebutkan di atas. Namun, berdoa saja tidak cukup. Doa harus diiringi dengan usaha dan perjuangan, karena membersihkan hati juga merupakan ibadah, ibadah mentauhidkan Allah dalam perkara ‘ubudiyyah dan ‘uluhiyyah.

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Al-Ankabut : 69,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini menerangkan janji yang mulia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan mengorbankan jiwa dan hartanya serta menanggung siksaan dan rintangan. Karena itu Allah Ta’ala akan memberi mereka petunjuk dan membulatkan tekad dan memberikan bantuan, sehingga mereka memperoleh kemenangan di dunia dan kebahagiaan serta kemuliaan di akhirat kelak.

Lalu apa saja yang dapat membuat hati itu berkarat? Apa yang membuat hati itu ternoda? Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka.’ (QS.al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Dari hadits tersebut juga menjelaskan bahwa, satu kemaksiatan yang dilakukan akan memancing kemaksiatan berikutnya, sehingga noktah-noktah hitam memenuhi hati. Dan adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

Maka janganlah memandang sebarapa besar kemaksiatan yang kita lakukan, tapi pandanglah kepada siapa kita bermaksiat. Tentu berbeda rasa dan nilainya ketika melakukan kesalahan di depan teman, dengan melakukan kesalahan di depan atasan kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sikap kita di depan atasan, sehingga jangan sampai aib sekecil apapun terlihat.

Lalu dimana kita posisikan Allah dalam kehidupan kita? Apakah kedudukan atasan telah mengalahkan kedudukan Allah di hati kita? Sehingga kita dengan santainya berbuat maksiat kepada-Nya? Padahal Allah adalah Dzat yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan).” (Shahih Al Wabilus Shoyib, hal. 94).

Oleh karena itu, hendaklah kita menempa, mendidik, dan menundukkan nafsu (jiwa) kita, agar nafsu mengarahkan hati kita pada hal-hal yang baik, bukan pada kesesatan.

Berikut ini beberapa kiat untuk menghilangkan karat hati, sehingga hati bersih, amal pun tanpa pamrih, hanya mengharap ridha ilahi:

1. Berlepas diri atas segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah Azza wa Jalla demi memurnikan pengabdian kita pada-Nya.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (Lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95).

Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal; syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya.” (Lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah: 4

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia. Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.’.”

2. Perbanyak beristighfar pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Renungkan betapa banyak nikmat Allah yang diberikan pada kita, namun betapa sedikit kita bersyukur. Dan betapa seringnya kita lalai, lalai karena harta kita, anak-anak kita, ataupun karena istri kita.
Setiap ibadah yang kita lakukan tidaklah lepas dari campur tangan Allah. Dia memberikan kita taufiq sehingga kita terasa ringan dalam melakukan ibadah, dan itu semua adalah nikmat yang selayaknya kita syukuri.

Allah berfirman dalam banyak ayat mengenai perintah untuk beristighfar dan bertaubat, diantaranya dalam QS. An-Nur: 31,

وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”

Kemudian dalam QS. At-Tahrim: 8,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas).

Dalam QS. Hud: 3,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sayyidul istighfar (penghulu bacaan istighfar) adalah seorang hamba mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُك وَأَنَا عَلَى عَهْدِك وَوَعْدِك مَا اسْتَطَعْت أَعُوذُ بِك مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْت أَبُوءُ لَك بِنِعْمَتِك عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أَنْتَ

(‘Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau’.) Barangsiapa mengucapkannya di pagi hari dalam keadaan meyakininya, lalu ia mati di waktu malamnya, maka ia akan masuk surga.”

3. Perbanyak membaca Al-Qur’an, jangan sampai hari kita terlewatkan tanpa membaca dan memahami kalam-kalam Allah. Al-Quran di turunkan bukan hanya untuk mencari berkah dengannya, tetapi Allah turunkan sebagai pelajaran, nasihat, obat, dan pedoman hidup. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57).

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan/pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar: 17).

4. Perbanyak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikrullah, karena dengan berdzikir kita akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, sehingga hati dan pikiran lebih terkontrol untuk berhati-hati dalam berniat dan beramal.

Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 191,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’.”

Al-Imam Al-Baghawi mengatakan, “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan yang disebutkan dalam surat diatas.”

Syaikh As-Sa’di mengatakan, dzikir tersebut mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring. Maka pada ayat ini Allah menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung, yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.

5. Berbahagialah dengan kebahagiaan saudaramu.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga penting bagi kita untuk pandai-pandai menata hati. Ketika melihat tetangga beli mobil baru, maka biasanya syubhat mengganggu hati dengan berpikiran su’udzon. Maka hendaklah dengan lapang dada kita berpikiran bahwa ketika tetangga beli mobil baru, adalah suatu kebahagian pula untuk kita karena (Alhamdulillah) kita nanti bisa numpang, kita bisa merasakan pula nyamannya mobil tersebut. Subhanallah, betapa tentram hati ini ketika kita mampu menata hati dengan baik, maka semua yang terjadi akan terasa sebagai nikmat, nikmat dan nikmat. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

6. Bila engkau dilempari batu, maka tangkaplah batu itu, kumpulkan dan bangunlah dengannya sebuah rumah yg indah. Maksudnya, batu tersebut adalah kritikan yg membangun.

Terima kritikan tersebut dengan sebuah senyuman disertai ucapan “terima kasih”. Dua hal ini akan membuat si pengritik langsung tahu bahwa yang dikritik bukanlah orang sembarangan. Mengucapkan “terima kasih” plus senyum pada saat dihujani kritik adalah sebuah sinyal bahwa kita sudah dewasa dan matang. Kata “terima kasih” dan senyum juga bisa menjadi “serangan balik” yang baik bagi mereka yang mengkritik karena biasanya mereka belum tentu akan melakukan hal yang sama pada saat dirinya yang kena kritik.

Terdapat teladan yang baik dari sahabat Umar Bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah riwayat yang mashyur, disebutkan bahwa Umar Bin Al-Khattab pernah mendengar kritikan dalam bentuk keluh kesah seorang ibu yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan untuk anak-anaknya. Uniknya, sang khalifah yang mendengar kritikan tersebut secara langsung bukannya marah atau memanggil tentara untuk memenjarakan sang ibu beserta anak-anaknya. Tetapi justru menyediakan pundak beserta tenaganya untuk mengangkat sendiri bahan makanan yang dibutuhkan oleh ibu tersebut. Masya Allah, itulah Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, salah satu sahabat yang dijamin akan masuk surga oleh baginda Rasul. Lalu bagaimana dengan kita yang tidak mendapat jaminan masuk surga?

7. Jangan menangisi nasi yang telah menjadi bubur, karena itu hanyalah akan menyia-nyiakan waktu. Namun, bangkitlah dan bersemangatlah untuk membuat sebab takdir Allah menjadi lebih baik.

Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang mengundang syubhat dari syaithan, seperti mengatakan, “Seaindainya aku melakukan itu, pastilah akan terjadi begini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan, dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Allah. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala’ (Allah telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya), Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini; ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya.”

8. Tata hati dengan gemar berbagi.

Anas bin Malik mengisahkan, “Dahulu Abu Thalhah adalah orang Anshar di Madinah yang paling banyak harta kebun kurmanya. Kebun yang paling dicintainya adalah “Bairuha”, kebun itu ada di depan masjid yang Nabi selalu memasukinya untuk minum airnya yang bagus.” Anas mengisahkan, “Ketika turun ayat ‘Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.’ Abu Thalhah bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.’ Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah “Bairuha”, harta itu aku sedekahkan di jalan Allah, aku harapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, berikanlah wahai Rasulullah sebagaimana Allah perlihatkan kepada engkau. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian bersabda, “Itu harta yang baik, aku telah mendengar apa yang kamu katakan. Menurutku engkau berikan saja harta itu kepada kerabat-kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Aku akan melakukannya wahai Rasulullah.” Lalu ia bergegas membagikan harta itu kepada kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari).

9. Kunjungilah fakir miskin dan seringlah mengingat kematian, karena dengan itu kita menjadi sadar bahwa dunia ini benar-benar hina, hidup di dunia tidaklah lama, dan hidup di dunia hanyalah untuk mencari bekal menghadap Allah Rabbul ‘alamin.

Sehingga kita menjadi orang yang qana’ah, zuhud, dan suka berbagi kebahagiaan.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi : 46).

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal : 28).

Harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41).

Semoga tulisan ini menjadi saran bersama untuk bermuhasabah demi menjadi hamba Allah yang semakin baik amal dan akhlaqnya di hadapan Allah utamanya, dan dihadapan manusia sebagai bentuk syi’ar agama Islam.

—–

Penyusun: Ummu ‘Athifah Dwi Pertiwi

Pemuraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Referensi : Rekaman kajian Ustadz Reza Syafiq Basalamah hafidzahullahu yang bertema Mengikir Hati Yang Berkarat (dengan sedikit tambahan tanpa mengurangi esensi pokok isi kajian).

Artikel www.muslimah.or.id

Viewing all 63 articles
Browse latest View live