Quantcast
Channel: Tauhid | Muslimah.or.id
Viewing all 63 articles
Browse latest View live

Tiga Hal yang Wajib Ditempuh sebelum Melakukan Perkara yang Wajib

$
0
0

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata:

“Seorang hamba apabila bertekad untuk melakukan suatu perkara maka wajib atasnya untuk pertama kali melihat; apakah hal itu termasuk ketaatan kepada Allah atau bukan?

Apabila ternyata hal itu bukan ketaatan hendaklah tidak dia lakukan. Kecuali apabila hal itu adalah suatu perkara yang hukumnya mubah/boleh-boleh saja dan digunakan untuk membantu terlaksananya ketaatan. Dalam kondisi seperti ini maka sesuatu yang asalnya mubah tadi berubah menjadi bernilai ketaatan.

Kemudian apabila tampak jelas baginya bahwa hal itu merupakan ketaatan, hendaklah dia melihat kembali hal itu apakah dirinya diberikan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukan hal itu atau tidak? Apabila dia belum atau tidak mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukannya maka janganlah dia memaksakan diri melakukan hal itu karena hal itu justru akan menghinakan dirinya sendiri.

Apabila dia mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk hal itu maka masih ada perkara lain yang harus diperhatikan; yaitu hendaklah dia mendatangi/memulai perbuatan itu dari pintu/jalan yang semestinya. Karena apabila dia menghampiri perbuatan dan masalah itu tidak melalui pintu/jalan yang semestinya maka dia pasti akan menyia-nyiakan, tidak menunaikan haknya, atau bahkan merusak salah satu bagian di dalamnya.

Ketiga perkara ini adalah pokok kebahagiaan dan sumber keberuntungan hamba. Inilah makna yang tersimpan dalam ucapan hamba ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus’. (QS. Al-Fatihah 5-6).

Oleh sebab itu manusia yang paling berbahagia adalah orang yang menegakkan ibadah –ahlul ‘ibadah-, senantiasa memohon pertolongan Allah –ahlul isti’anah-, dan orang yang menadapatkan curahan hidayah –ahlul hidayah– terhadap segala hal yang dituntut. Dan orang yang paling binasa adalah orang yang kehilangan ketiga perkara ini sekaligus.”

Dari keterangan di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa kebahagiaan itu ditegakkan di atas tiga pilar utama, yaitu: Ibadah kepada Allah [baca; tauhid], Isti’anah kepada Allah [baca; tawakal], Hidayah menuju jalan yang lurus [baca; ilmu dan amal].

**
Disalin dari buku “Tauhid: Kunci Kebahagiaan yang Terlupa”, Abu Mushlih Ari Wahyudi, hlm. 105-106, Pustaka Muslim, Yogyakarta.

Dipublikasikan ulang oleh Muslimah.Or.Id
Artikel Muslimah.Or.Id


Tauhid Kunci Ampunan

$
0
0

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ اَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايًا، ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لَاتُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. At-Tirmidzi dalam Kitab Ad-Da’awat [3540], dihasankan olehnya dan dishahihkan Syaikh Al-Albani).

Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:

  • Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya, maka dia pasti masuk neraka.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil, sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan atau dosanya justru lebih berat dalam timbangan, maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal disana. (lihat Al-Jadid fi Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 44)

**

Disalin dari buku “Tauhid: Kunci Kebahagiaan yang Terlupa”, Abu Mushlih Ari Wahyudi, hlm. 12-13, Pustaka Muslim, Yogyakarta.

Dipublikasikan ulang dengan beberapa penambahan oleh Muslimah.Or.Id

Artikel Muslimah.Or.Id

 

Penyimpangan Kaum Wanita Dalam Aqidah

$
0
0
  1. Pergi ke tukang sihir dan tukang ramal untuk menyembuhkan penyakit atau melepaskan sihir atau mencari pekerjaan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar tidak mendatangi mereka. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang suatu hal (maka) tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan).
    Bahkan barangsiapa yang mempercayainya maka ia telah kafir, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu dia mempercayai perkataannya maka dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
  2. Ziarah kubur dan bersengaja mengadakan perjalanan jauh hanya untuk ziarah kubur dan khususnya kuburan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Allah melaknat kaum wanita yang banyak berziarah kubur.” (HR. Imam Ahmad)
  3. Memulai ucapan salam kepada wanita-wanita kafir dan saling berkasih sayang dengan mereka, juga mengucapkan selamat pada saat ulang tahun atau tahun baru dan semacamnya. Hal ini haram untuk dilakukan karena termasuk ungkapan simpati kepada musuh-musuh Allah Ta’aala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.”(HR. Muslim)
  4. Bodoh atau tidak tahu tentang urusan agama dan enggan mempelajari ilmu syariat khususnya yang berhubungan dengan hukum-hukum kewanitaan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  5. Berteriak atau meraung-meraung, memukul-mukul wajah dan merobek pakaian ketika ada yang meninggal dunia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah termasuk dari (golongan) kami orang yang memukul pipinya, merobek satu (pakaian)nya dan meneriakkan teriakan-teriakan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)
    Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Wanita yang meratap, apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal, (maka) pada hari Kiamat dia akan dibangkitkan dan dipakaikan pakaian dari cairan tembaga serta mantel dari penyakit kudis.” (HR. Muslim)
  6. Pergi ke negara-negara kafir tanpa ada kepentingan, dengan alasan pergi untuk berlibur atau berbulan madu. Para ulama telah mengeluarkan fatwa bahwa mengadakan lawatan atau pergi ke negara-negara kafir tidak boleh kecuali dengan alasan yang dapat diterima secara sara (agama). Berekreasi dan melancong tidaklah termasuk alasan yang dapat diterima. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap orang muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  7. Meminta dengan paksa agar suami menggunakan pembantu atau baby sitter non muslim. Ironinya, ada sebagian kaum wanita yang telah mempersyaratkan hal tersebut ketika akan akad nikah. Kemudian para pembantu dan baby sitter tersebut mendapat tugas untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Tindakan semacam itu tentu akan berakibat buruk terhadap akidah dan moral anak-anak dan hal itu tidak samar lagi bagi orang yang mau berfikir.
  8. Mengejek dan menghina orang-orang muslim atau muslimah, khususnya kaum muslimah yang konsisten terhadap ajaran agama. Dia lupa bahwa dengan hal tersebut, dia melakukan sesuatu yang dapat membatalkan keislamannya. Dia dianggap keluar (murtad) dari Islam bila dia mengejek kaum wanita muslimah karena konsisten dengan ajaran-ajaran agama yang di antaranya adalah hijab/jilbab.
    Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

    وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

    Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)

  9. Perasaan tidak sabar kaum wanita ketika ditimpa dengan musibah, sehingga dia berdo’a lebih baik mati saja. Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mengharapkan kematian (hanya) karena musibah yang menimpanya. Kalau dia memang harus berharap (berdo’a) hendaklah dia mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik untukku dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku’.” (Muttafaq ‘alaih)

——————————————————–

Diketik ulang dari buku “Penyimpangan Kaum Wanita”. Judul asli: “Mukhālafāt Taqa’u Fīhā An-Nisā” yang diperiksa oleh Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin

Artikel muslimah.or.id

Perayaan Natal Dan Aqidah Al-Wala’ Wal Al-Bara’ Yang Dianggap Usang (4)

$
0
0

Aqidah Al-Wala’ wal Bara’ Mengajarkan Kezaliman?

Berbagai tuduhan dialamatkan kepada agama Islam berkaitan dengan aqidah al-wala’ wal bara’ ini. Islam dituduh intoleran, tidak menghormati agama lain, atau mengajarkan permusuhan, kebencian dan kedzaliman terhadap agama non-muslim dan para pemeluknya. Di antara mereka berdalih bahwa mengucapkan selamat Natal hanyalah ucapan ringan di mulut yang tidak memiliki konsekuensi apa-apa selama yang mengucapkan selamat tersebut tidak pindah agama, lantas untuk apa dilarang? Juga sebagai bentuk saling menghormati antar-umat beragama sebagaimana mereka juga mengucapkan selamat atas hari besar umat Islam. Semua ini tidak lain karena ketidaktahuan kaum muslimin terhadap aqidah yang satu ini.

Sungguh orang-orang yang membenci aqidah al-wala’ wal bara’ ini tidak mengetahui bagaimanakah Islam mengajarkan untuk bersikap adil terhadap orang kafir. Oleh karena itu, berkaitan dengan aqidah al-wala’ wal al-bara’ ini, ada beberapa catatan penting yang perlu penulis sampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman berkaitan tentang hal ini, juga sebagai bentuk pembelaan atas aqidah yang agung ini.

Pertama, kebencian kita terhadap orang kafir tidaklah menghalangi kita untuk tetap berdakwah kepada mereka. Meskipun kita membenci dan memusuhi mereka, wajib bagi kita untuk berdakwah kepada mereka dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Karena bisa jadi Allah Ta’ala lantas memberikan hidayah-Nya kepada orang kafir tersebut melalui perantaraan dakwah kita. Sedangkan pada asalnya, dakwah tidaklah mungkin kita lakukan dengan sikap keras, permusuhan, dan dengan akhlak buruk yang menunjukkan kebencian kita kepada mereka karena hal ini bertentangan dengan sikap hikmah dalam berdakwah.

Kedua, bara’ kita kepada mereka tidaklah berarti kita tidak boleh membuat perjanjian damai dengan mereka selama memang dibutuhkan. Jika kaum muslimin membutuhkan untuk membuat perjanjian damai dengan mereka, misalnya karena kaum muslimin dalam kondisi lemah yang tidak mungkin memerangi mereka, atau dikhawatirkan mereka berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka tidak mengapa jika kita berdamai dengan mereka sampai kaum muslimin memiliki kekuatan untuk memerangi mereka. Oleh karena itu, perjanjian damai ini sifatnya hanya sementara saja, yang terikat dengan waktu tertentu, sesuai dengan kebaikan (maslahat) yang dilihat oleh penguasa (pemerintah) kaum muslimin.  Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Ketiga, bara’ kita kepada mereka tidaklah menghalangi kita untuk membalas kebaikan mereka –dengan balasan yang sepadan- jika memang mereka berbuat baik kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).

Keempat, kebencian kita kepada mereka tidaklah berarti tidak boleh mencintai mereka sebatas cinta yang bersifat tabiat atau memang naluri seorang manusia. Misalnya mencintai orang tua yang statusnya masih kafir, karena bagaimana pun, orang tua juga mempunyai hak atas kita. Akan tetapi, tidaklah boleh mencintai mereka dengan cinta yang tulus dari hati (mahabbah qolbiyyah). Kita juga tidak boleh menaati mereka untuk melakukan atau mendukung kekafiran mereka. Cukup bagi kita untuk membalas kebaikan mereka karena memang mereka yang telah merawat kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS. Luqman [31]: 14-15).

Bukti lainnya, Allah Ta’ala membolehkan bagi laki-laki yang beriman untuk menikah dengan wanita ahli kitab. Padahal, tidak mungkin kita menikahi seseorang dalam kondisi tidak mencintainya sama sekali. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bolehnya cinta yang bersifat thabi’i (tabiat atau naluri) kepada orang kafir. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai pamannya, yaitu Abu Tholib, padahal kita mengetahui bahwa status Abu Tholib adalah kafir sampai meninggal dunia, namun cinta beliau kepada pamannya hanyalah sebatas cinta yang bersifat thabi’i (karena beliau adalah pamannya) dan tidak sampai cinta yang bersifat syar’i atau cinta atas dasar agama. [1]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al Qashash [28]: 56).

Kelima, boleh untuk memenuhi undangan mereka dan menyantap hidangan yang mereka sediakan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keenam, kita juga tetap harus berbuat baik kepada orang kafir yang merupakan tetangga kita karena mereka mempunyai hak-hak sebagai tetangga.

Ketujuh, tidak boleh berbuat zalim kepada mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al-Maidah [5]: 8). [2]

Kedelapan, boleh untuk menghadiri prosesi pemakaman mereka selama ada maslahat (kebaikan) dan tidak dalam rangka mendoakan ampunan untuk mereka. [3]

Saudara-saudaraku, lihatlah bagaimana Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang kafir, namun tanpa mengorbankan aqidah kita sebagai seorang muslim. Renungkanlah hal ini!

Sebagai penutup pembahasan ini, kami sampaikan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Dia berkata, ‘Kapankah kiamat itu?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab, ‘Apa yang sudah Engkau siapkan untuknya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

«أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» . قَالَ أَنَسٌ: فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ، فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» قَالَ أَنَسٌ: «فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ»

”Engkau akan bersama dengan orang yang Engkau cintai.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kami tidak pernah bergembira sebagaimana kegembiraan kami dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang Engkau cintai.’  Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,”Kalau begitu, aku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama-sama dengan mereka karena kecintaanku kepada mereka. Meskipun aku tidak bisa beramal sebagaimana amal mereka.” [4]

Lalu, bagaimana kalau yang dicintai adalah orang-orang kafir yang terancam kekal di neraka? Wal ‘iyadhu billah.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

Diselesaikan pada Sabtu siang menjelang asar, 20 Shafar 1436

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Catatan kaki:

[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/246 (Maktabah Asy-Syamilah)

[2] Penjelasan ini penulis ringkas dari perkataan Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Tsalaatsatul Ushuul, hal. 51-53. Kemudian penulis tambahkan dari keterangan yang disampaikan oleh guru penulis, Ustadz Aris Munandar, SS, MPI, ketika membahas kitab At-Tanbihat Al-Mukhtasharah.

[3] Lihat penjelasan sahabat dan guru kami, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc di:

http://rumaysho.com/aqidah/menghadiri-prosesi-jenazah-non-muslim-9462

[4] HR. Bukhari no. 3688 dan Muslim no. 161.

 

Artikel Muslim.Or.Id

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

$
0
0

Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas petunjuk dan agama yang lurus. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada beliau dan orang-orang yang senantiasa mengikuti ajaran beliau hingga hari Kiamat kelak. Amma ba’d.

Saudariku yang saya cintai karena Allah, perlu kita ketahui bahwasanya mengenal Dzat yang menciptakan kita merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mengenal Rabbnya? Bukankah di alam kubur nanti kita akan ditanya oleh malaikat, “Siapakah Rabbmu?” Dan tentu saja orang-orang yang teguh imannya dan mereka mengenal Rabbnya di dunia yang mampu menjawab. Lalu kita akan bertanya, “Bagaimana cara mengenal Allah? Sedangkan kita tidak pernah melihat-Nya sama sekali.”

Diantara cara mengenal Allah Ta’ala adalah mengenal nama dan sifat-Nya. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan hadist nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kesempatan kali ini, izinkan saya untuk menulis sedikit mengenai sifat Allah yaitu Qurbullah min kholqihi (Kedekatan Allah dengan hamba-Nya) dan Ma’iyyatullah li kholqihi (Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya). Semoga kita semua selalu diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Aamiin.

Manhaj Salaful Ummah dalam Kaidah Asma’ wa Shifat

Sebelum kita mengetahui apa itu Kedekatan dan Kebersamaan Allh dengan Hamba-Nya, sedikit saya bahas disini bagaimana kaidah para salaf -para pedahulu kita dalam Islam dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, yang disebut juga dengan ahlussunnah wal jama’ah- dalam memahami nama dan sifat Allah. Hal ini ditujukan agar kita memahami dengan kaidah yang shahih, karena para sahabat nabi adalah generasi yang langsung ditarbiyah oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga yang paling mendekati kebenaran.

Adapun kaidah ahlussunnah wal jama’ah tentang nama dan sifat Allah yang harus kita yakini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Diantara iman kepada Allah adalah mengimani segala yang Allah sifatkan tentang diri-Nya di dalam kitab-Nya (al-Qur’an -pen) dan apa yang Rasul sifatkan tentang Allah (al-Hadist -pen) tanpa tahrif (dirubah), ta’thil (ditiadakan), takyif (dibagaimanakan), dan tamtsil (diserupakan dengan makhluk). Tetapi mereka beriman bahwasanya Allah Subahanahu wa Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syura: 11) [1]

Mengapa kita harus memahami nama dan sifat Allah melalui kitab dan sunnah? Jawabannya masih dalam perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Karena Allah Subhanahu adalah Dzat yang paling mengetahui tentang diri-Nya bukan selain-Nya, yang paling benar perkataan-Nya, dan yang paling baik ucapan-Nya. Adapun Rasulullah adalah manusia yang paling jujur perkataannya.” [2]

Makna Kedekatan dan Kebersamaan Allah

Makna kedekatan Allah dengan hamba-Nya adalah Allah Subhanahu Maha dekat dengan orang-orang yang berdo’a dan yang bermunajat kepada-Nya, Maha Mendengar do’a dan bisik-bisik hamba-Nya, dan Allah akan mengabulkan do’a para hamba-Nya kapan saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki, maka Allah Maha dekat dengan ilmu-Nya dan pengawasan-Nya. [3]

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي ‎وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.“ (QS. al-Baqarah: 186)

Sedangkan makna kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adalah kebersamaan yang sesuai dengan kemahatinggian-Nya, yang mengandung arti bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, kekuasaan-Nya dan sifat-sifat maha sempurna Allah lainnya yang merupakan makna Rububiyah-Nya. [4]

Makna tersebut adalah makna yang dijelaskan oleh para Imam ahli tafsir dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, ketika menafsirkan firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4)

Diantara yang menafsirkan adalah Imam Ibnu Katsir rahimahullah:

“Dia maha mengawasi kalian lagi menyaksikan perbuatan-perbuatan kalian, kapan dan di manapun kalian berada, di darat maupun di laut, di waktu malam maupun siang, di dalam rumah atau di tempat yang sunyi. Pengetahuan-Nya meliputi semua mahluk-Nya secara menyeluruh, semua dalam pengawasan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar (semua) ucapan serta meyaksikan (semua) keadaan kalian. Dan Dia mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan.” [5]

Pembagian Ma’iyyah Allah

Para ulama membagi ma’iyyah menjadi 2, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah:

  1. Ma’iyyah ‘Ammah (Ma’iyyah Umum)
    Adalah kebersamaan Allah dengan seluruh hamba-Nya dalam pengawasan dan penglihatan-Nya, mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya baik perbuatan yang baik atau buruk, dan Dzat yang membalas semua perbuatan mereka.
  2. Ma’iyyah Khoshshoh (Ma’iyyah Khusus)
    Adalah kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang beriman saja, yaitu dengan pertolongan-Nya dan penjagaan-Nya. [6]

Lalu, Dimanakah Allah?

Setelah kita mengetahui bahwasanya Allah itu Maha dekat dan bersama dengan hamba-Nya, mungkin ada diantara kita yang bertanya, “Lalu, dimanakah Allah? Jika dia dekat dan bersama hamba-Nya berarti Allah berada di sekitar kita? Berarti Allah ada dimana-mana?”.

Tentu saja ini pernyataan yang salah saudariku, karena Allah tetap beristiwa’ di atas ‘Arsy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

“Telah disebutkan perkara iman kepada Allah (dalam nama dan sifat-Nya -pen) adalah beriman kepada semua yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya, hadist mutawatir dari Rasul-Nya, dan kesepakatan (ijma’) ulama salaf. Diantara perkara tersebut adalah Allah Subhanahu berada di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas para makhluk-Nya, Dan Allah Subhanahu bersama dengan mereka dimanapun mereka berada, Mengetahui apa saja yang mereka kerjakan. Sebagaimana Allah menggabungkan sifat-sifat tersebut dalam firman-Nya,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ، يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia beristiwaa’ (tinggi berada) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hadid: 4) [7]

‘Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhhuma, yang merupakan ulama tafsir dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhhum , menafsirkan kalimat “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” dalam QS. al-Hadid ayat 4 di atas:

[وَهُوَ مَعَكُمْ] “Dia (Allah) Mengetahui kalian,
[أَيْنَ مَا كُنتُمْ] baik di darat maupun di lautan.” [8]

Adapun kata ma’a tidak harus bersatu di dalam satu tempat, adanya percampuran dan saling bersentuhan. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan menuliskan bantahan dari syubhat ini:

  1. Tidak terdapat dalam kaidah bahasa Arab bahwa kata ma’a harus bersatu dalam satu tempat, adanya percampuran, dan saling bersetuhan.
  2. Menyelisihi ijma’ salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
  3. Menyelisihi fitrah manusia bahwasanya Allah Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya..
  4. Menyelisihi al-Qur’an dan al-Hadist bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. [9]

Disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Maha dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Maknanya Allah Maha mendengar dan mengabulkan do’a hamba-Nya, serta bersama seluruh hamba-Nya dengan ilmu-Nya, dan keduanya tidak menafikan istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy. Maka sudah sepantasnya kita berhenti pada perkataan ini saja, tanpa mengubah maknanya sebagaimana sikap para sahabat dan ulama salaf.

Renungan Bagi Kita Semua

Saudariku yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah, kita telah bersama-sama mengetahui makna dari kedua sifat Allah di atas. Kita tahu bahwa Allah bersama kita dengan pengetahuan-Nya, penglihatan-Nya, pengawasan-Nya, pendengaran-Nya, dan kekuasaan-Nya. Akan tetapi mengapa dengan mudahnya kita bermaksiat kepada Dzat yang melihat gerak-gerik kita? Tidakkah kita takut dengan adzab Allah yaitu neraka menyala-nyala yang panasnya 70 kali lipat panasnya api dunia?

Kita tahu bahwa Allah Maha dekat dengan mendengar dan mengabulkan do’a para hamba-Nya, akan tetapi mengapa kita masih saja enggan berdo’a? Padahal seorang hamba sangatlah butuh kepada Rabbnya. Untuk itu marilah kita kembali berbenah saudariku, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di kerongkongan. Semoga tulisan ini bermanfaat terkhusus untuk penulis dan dapat mengingatkan kita semua akan kebesaran dan kekuasaan Allah.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Ummu Uwais Bondan Asrini Ariefah

Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:
[1] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[2] Idem.
[3] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 197, Muhammad Khalil Kharras.
[4] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 401, Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin.
[5] Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah.
[6] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 79, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
[7] al-Aqidah al-Wasithiyyah, Ahmad bin Taimiyah.
[8] Tafsir Ibnu Abbas, Maktabah Syamilah.
[9] Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal 115, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan

Artikel muslimah.or.id

Iman kepada Asma wa Sifat Allah serta Keutamaannya

$
0
0

Hakikat Iman Kepada Nama dan Sifat Allah

Beriman kepada nama dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan pada diri-Nya di dalam al-Qur’an, atau di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan yang layak bagi Allah, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tanpa tamtsil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 180)

Allah juga berfirman,

وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. ar-Rum: 27)

Dan Allah juga berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.  asy-Syura: 11)

Kelompok yang Menyimpang dalam Nama dan Sifat Allah

Dalam masalah ini, telah tersesat dua kelompok:

Pertama, al-Mu’aththilah yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau sebagiannya. Mereka mengklaim, jika kita menetapkan  nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka kita melazimkan tasybih, yaitu menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya.

Klaim ini batil pada beberapa sisi:

  1. Hal tersebut melazimkan kelaziman-kelaziman yang batil.
    Di antaranya, berarti ada kontradiksi dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Ta’ala telah menetapkan pada diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat dan Allah menafikan bahwasanya ada sesuatu yang semisalnya. Andaikan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah itu melazimkan tasybih, maka ini merupakan kontradiksi pada kalam Allah, dan berarti ayat-ayat al-Qur’an itu saling mendustakan.
  1. Kesamaan antara dua hal dalam sifat atau nama tidak berarti keduanya sama persis.
    Jika anda melihat dua orang yang mereka sama-sama manusia yang mendengar, melihat, berbicara, ini tidak berarti bahwa mereka sama persis dalam sifat-sifat manusiawinya,  pendengarannya, penglihatannya, dan perkataannya. Dan anda juga melihat hewan-hewan memiliki tangan, kaki, mata, itu tidak berarti hewan-hewan tersebut tangan-tangannya, kaki-kakinya, dan mata-matanya semuanya sama. Maka jika telah jelas perbedaan antara makhluk-makhluk dalam hal yang sama namanya maupun sifatnya, maka berbeda pula antara al-Khaliq (Maha Pencipta) dengan makhluk, dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.

Kedua, al-Musyabbihah yaitu kelompok yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka berdalih bahwasanya hal ini ditunjukkan oleh nash-nash yang ada. Karena  Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada hamba-hamba dengan yang mereka pahami.

Dan dalih ini batil dalam beberapa sisi :

  1. Bahwasanya menyerupakan Allah dengan makhluk adalah perkara yang batil.
    Batil menurut akal dan syari’at. Dan tidak mungkin yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perkara yang batil.
  1. Sesungguhnya Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan yang mereka pahami.
    Difahami dari sisi asal makna. Sedangkan dari sisi hakikatnya yang ditunjukkan makna tersebut adalah disesuaikan dengan yang layak bagi Allah Ta’ala, dan sesuai dengan ilmu Allah dalam hal yang terkait dengan dzat-Nya dan sifat-Nya.
    Jika Allah menetapkan pada diri-Nya bahwa Allah Maha Mendengar, maka sesungguhnya istilah as-sam’u (pendengaran) itu sudah diketahui dari makna asalnya (yaitu tersampaikannya suara). Akan tetapi, dari sisi hakikatnya, jika terkait dengan pendengaran Allah, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari pendengaran itu berbeda-beda. Bahkan berbeda-beda pada para makhluk, lebih jelas dan lebih besar perbedaannya. Jika Allah Ta’ala mengabarkan pada diri-Nya bahwasanya Allah istiwa diatas ‘arsy, maka sesungguhnya istiwa dilihat dari sisi makna asal yang telah diketahui maknanya. Akan tetapi, hakikat istiwa jika terkait dengan istiwa Allah di atas ‘arsy, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari istiwa itu pun berbeda-beda pada makhluk. Maka bukanlah istiwa itu menetap di atas kursi atau sebagaimana istiwa seseorang di atas pelana unta tunggangan. Jika pada makhluk saja berbeda, berbeda juga antara al-Khaliq dan makhluk dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.

Keutamaan Iman Kepada Nama dan Sifat Allah

Beriman kepada Allah Ta’ala terhadap apa yang telah kami jelaskan membuahkan faidah yang agung kepada kaum mukminin, diantaranya:

  1. Menguatkan tauhid kepada Allah Ta’ala dari sisi tidak akan bergantung kepada selain-Nya, baik dalam raja’ (harap) maupun khauf (takut), dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
  2. Kecintaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala, dan mengagungkan-Nya dengan apa yang ditunjukkan oleh nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
  3. Menguatkan penghambaan kepada-Nya dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh-Nya.

 

[Diterjemahkan dari Syarh Tsalatsatil Ushul Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (hal. 59-60) Darul Kutub Ilmiyyah]

Penyusun: Ummu Sufyan Fera

Pemuraja’ah: Ustadz Raehanul Bahraen

Artikel Muslimah.Or.Id

Empat Kaidah Penting dalam Memahami Syirik dan Tauhid (Terjemah Al Qawaai’dul Arba’)

$
0
0

Aku memohon kepada Allah yang Mulia, Rabb pemilik ‘arsy yang agung. Semoga Allah menjadikanmu wali di dunia dan akhirat dan menjadikan engkau orang yang mendapatkan berkah di manapun engkau berada. Dan menjadikan engkau orang yang bila mendapatkan nikmat selalu bersyukur, jika mendapatkan musibah senantiasa bersabar, jika berbuat dosa segera beristighfar. Maka sesungguhnya ini adalah tiga sumber kebahagiaan.

Ketahuilah -semoga Allah senantiasa menunjuki Anda dalam ketaatan kepada-Nya- bahwasanya milah Ibrahim yang lurus adalah engkau menyembah Allah semata dengan ikhlas. Itulah perintah Alllah kepada seluruh manusia dan itu pula tujuan makhluk diciptakan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat :56).

Dan jika Engkau telah mengetahui bahwasannya Allah menciptakanmu untuk menyembah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasannya ibadah itu tidaklah dinamakan ibadah kecuali disertai tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah dinamakan shalat kecuali disertai dengan thaharah. Jika syirik bercampur dalam ibadah, ia akan merusaknya. Sebagaimana hadats membatalkan thaharah.

Maka apabila engkau telah mengetahui, bahwasanya syirik bila bercampur didalam ibadah ia dapat merusak ibadah itu, membatalkan amalan dan menjadikan pelakunya kekal didalam neraka, engkau akan mengetahui pentingnya atas kalian untuk mengenal dan mengilmui perkara ini. Semoga Allah senantiasa melepaskan engkau dari jeratan itu, yaitu syirik kepada Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa selainnya, bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. An-Nisaa ayat 48).

Dan memahami perkara ini (syirik), yaitu dengan mengetahui empat kaidah. Sesuai dengan yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya engkau mengetahui bahwasanya orang-orang kafir yang memerangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mereka meyakini bahwasanya Allah Ta’ala lah pencipta dan pengatur alam semesta. Akan tetapi itu tidaklah menjadikan mereka Muslim. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah : “Siapakah yang memberi rejeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab “Allah”, maka katakanlah mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus ayat 31)

Kaidah Kedua

Sesungguhnya mereka berkata: “kami menyembah mereka (tandingan-tandingan selain Allah) dan bersimpuh kepada mereka, adalah hanya untuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan meminta syafa’at”.

Dalil tentang qurbah, firman Allah Ta’ala:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) “Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar ayat 3).

Dalil tentang syafa’at, firman Allah Ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan dan mereka berkata “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami disisi Allah”” (QS. Yunus ayat 18)

Syafa’at itu dibagi dua macam, yaitu syafa’at manfiyah dan syafa’at mutsbatah :

  1. Syafa’at manfiyah (yang tertolak) yaitu engkau meminta kepada selain Allah dalam perkara yang hanya Allah yang mampu melakukannya. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

    Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rejeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (QS. Al Baqarah ayat 254).

  2. Syafa’at mutsbatah (syafa’at yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta dari Allah dengan izin dari-Nya. Pemberi syafa’at adalah pihak yang dimuliakan dengan syafa’at dan yang diberi syafa’at adalah pihak yang Allah ridhai perkataannya dan perbuatannya, setelah adanya izin Allah. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

    مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

    Siapakah yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan izin-Nya?” (QS. Al Baqarah ayat 255)

Kaidah Ketiga

Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wassallam hidup di tengah berbagai macam manusia dalam peribadatan mereka. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah para nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah pohon-pohon dan batu-batu, dan ada yang menyembah matahari dan bulan. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerangi mereka semua dan tidak membeda-bedakannya. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu semata-mata untuk Allah” (QS. Al Anfal: 39).

Dalil tentang penyembahan matahari dan bulan, firman Allah Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah, yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (QS. Al Fushilat ayat 37)

Dalil tentang penyembahan malaikat, firman Allah Ta’ala:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan” (QS. Ali Imran ayat 80).

Dalil tentang penyembahan para Nabi, firman Allah Ta’ala:

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : “Jadikanlah aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau mengetahui perkara-perkara yang ghaib” (QS. Al Maiadah ayat 116)

Dalil tentang penyembahan orang-orang shalih, firman Allah Ta’ala:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

“Orang-orang (shalih) yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” (QS. Al Isra: 57)

Dalil tentang penyembahan pohon dan batu, firman Allah Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأُخْرَى

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Latta dan Al Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah” (QS. An Najm ayat 19-20).

Dan hadits Abi Waaqid Al Laitsy,

خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم يقال لها ذات أنواط. فمررنا بسدرة فقلنا: يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط، كما لهم ذات أنواط

Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menuju ke Hunain, ketika itu kami baru saja terbebas dari kekafiran. Kaum musyrikin memiliki pohon bidara yang mereka jadikan tempat i’tikaf, dan menggantungkan senjata mereka padanya. Pohon tersebut dinamakan “dzatu anwath”. Kemudian kami melalui sebatang pohon bidara, dan kami berkata “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki Dzatu anwath

Kaidah keempat

Bahwasanya orang-orang musyrik di zaman lebih parah perbuatan syiriknya dari kaum Musyrikin terdahulu. Dikarenakan mereka (kaum Musyrikin terdahulu) menyekutukan Allah dalam keadaan lapang, tetapi ikhlas kepada Allah dalam keadaan sempit. Sedangkan orang-orang musyrik di zaman sekarang menyekutukan Allah terus-menerus dalam keadaan lapang maupun sempit. Dalilnya firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya; tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)“ (QS. Al Ankabuut ayat 65).

Selesai.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wa sallam

 

Penerjemah : Ummu Nadhifah Endang Sutanti

Artikel Muslimah.Or.Id

Pembagian Tauhid Dalam Al Qur’an

$
0
0

Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata kerja, ed) dari kata wahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid  I/7).

Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 63).

Pembagian Tauhid dalam Al Qur’an   

Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).

Perhatikan ayat di atas:

(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah.

(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.

(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.

Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut:

  1. Tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:

    أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

    “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).

  2. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:

    ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ

    ”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (Luqman: 30).

  3. Tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

    ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11) (Lihat Al-Qaulul Mufiiid  I/7-10).

Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid dalam ma’rifat wal itsbat (pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat Fathul Majid 18).

Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan hasil penelitian para ulama terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan termasuk bid’ah karena memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kaitan Antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:

قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ {75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ {82}

“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).

Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}

“Katakanlah;” Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1). Raja manusia (2). Sesembahan manusia (3)” (An-Naas: 1-3).

Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia, sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya mencakup makna keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur: “Siapa Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah:

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).

قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah” (Al-An’am: 164).

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah” (Fushshilat: 30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah  ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad 27-28).

Isi Al-Qur’an Semuanya Tentang Tauhid

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an menjelaskan hal-hal berikut:

  1. Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan perkataan-Nya. Ini adalah termasuk tauhidul ‘ilmi al khabari (termasuk di dalamnya tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat).
  2. Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at thalabi (tauhid uluhiyah).
  3. Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan menjauhi larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa mukammilatuhu (hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
  4. Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang balasan kemuliaan di dunia dan balasan kemuliaan di akhirat. Ini termasuk jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
  5. Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa siksa di dunia dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang menyelisihi hukum tauhid.

Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid, hak-haknya dan balasannya. Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan balasan bagi mereka (Lihat  Fathul Majid 19).

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang pembagian tauhid. Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita di atas jalan tauhid untuk mempelajarinya, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

***

Penyusun: dr. Adika Mianoki (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi)

Artikel Muslimah.Or.Id

 


2 Tujuan Penciptaan Manusia

$
0
0

Segala sesuatu yang Allah ciptakan, baik di langit maupun di bumi pasti ada tujuan dan hikmahnya. Tidaklah semata mata karena hanya suka-suka saja. Bahkan seekor nyamuk pun tidaklah diciptakan sia-sia. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminun:115).

Tulisan singkat ini akan membahas 2 tujuan utama penciptaan manusia

1. Mengilmui Tentang Allah

Allah Ta’ala berfirman

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 12).

Allah menceritakan bahwa penciptaan langit dan bumi, agar manusia mengetahui tentang ke Maha Kuasaan Allah Ta’ala, bahwa Allah lah pemilik jagad raya ini dengan ilmu Allah yang sempurna. Tidak ada satu pun yang terluput dari ilmu dan pengawasan Allah, karena ilmu Allah meliputi segala sesuatu

2. Untuk Beribadah Kepada Allah Semata

Allah Ta’ala berfirman

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata. Ayat ini mengisyaratkan pentingnya tauhid, karena tauhid adalah bentuk ibadah yang paling agung, mengesakan Allah dalam ibadah.

Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya beramal, setelah tujuan pertama manusia diciptakan adalah agar berilmu. Maka buah dari ilmu adalah beramal. Tidaklah ilmu dicari dan dipelajari kecuali untuk diamalkan. Sebagaimana pohon, tidaklah ditanam kecuali untuk mendapatkan buahnya. Karena ilmu adalah buah dari amal.

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi motivasi kita untuk semangat mencari ilmu dan mengamalkan ilmu yang telah di dapatkan. Sebagaimana yang telah Allah sebutkan pada 2 ayat di atas, sebagai konsekuensi kita diciptakan sebagai manusia. Wallahul Muwaffiq.

Penulis: Wiwit Hardi P.

Artikel Muslimah.Or.Id

Mengikir Hati Yang Berkarat

$
0
0

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).”(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Hati dalam bahasa arab قلب dapat digunakan untuk dua hal, yaitu :

  1. Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.
  2. Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain.

Kedua makna tersebut sesuai dengan makna hati secara istilah. Dimana hati adalah bagian paling mulia dan murni dari seluruh bagian tubuh manusia, sehingga benarlah kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Dan hati juga merupakan bagian tubuh manusia yang paling rawan terkena fitnah syubhat dan syahwat, sehingga mudah terbolak-balikkan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu] (HR. Muslim no. 2654).

Dalam istilah kedokteran, hati (قلب) diartikan sebagai jantung, dimana jantung merupakan salah satu organ vital manusia yang dengannya darah dapat dipompa ke seluruh tubuh. Apabila pompa (jantung) tersebut rusak maka terganggulah seluruh proses dalam tubuh akibat darah yang tidak diedarkan dengan baik. Seseorang yang divonis dokter terkena penyakit jantung maka hidupnya akan terasa susah, karena berbagai pantangan (larangan-pen-) makanan mulai mengekangnya, sehingga harta berlimpah bukanlah indikator kebahagiaaan. Kebahagiaan letaknya di dalam hati, dan setiap manusia memiliki hati. Sehingga kebahagiaan itu milik semua orang, baik si kaya maupun si miskin, asalkan ia mampu menata dan membersihkan hatinya dari karat-karat yang mematikan hati.

Allah Ta’ala berfirman,

(يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89

(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).

Ibnu Katsir berkata: “'(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’. Artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya, yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”

Imam Asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya, serta tidak ada pula dendam dan hasad.’ (Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dikeluarkan oleh Ibnu Majah no.4216 dan Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah).

Maka, selayaknya kita sebagai makhluk yang lemah selalu memohon kepada Rabb penguasa hati, agar hati kita selalu dibimbing untuk melakukan ketaatan-ketaatan dan ditetapkan di atas agama-Nya. Salah satu doa yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kami sebutkan di atas. Namun, berdoa saja tidak cukup. Doa harus diiringi dengan usaha dan perjuangan, karena membersihkan hati juga merupakan ibadah, ibadah mentauhidkan Allah dalam perkara ‘ubudiyyah dan ‘uluhiyyah.

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Al-Ankabut : 69,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini menerangkan janji yang mulia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan mengorbankan jiwa dan hartanya serta menanggung siksaan dan rintangan. Karena itu Allah Ta’ala akan memberi mereka petunjuk dan membulatkan tekad dan memberikan bantuan, sehingga mereka memperoleh kemenangan di dunia dan kebahagiaan serta kemuliaan di akhirat kelak.

Lalu apa saja yang dapat membuat hati itu berkarat? Apa yang membuat hati itu ternoda? Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka.’ (QS.al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Dari hadits tersebut juga menjelaskan bahwa, satu kemaksiatan yang dilakukan akan memancing kemaksiatan berikutnya, sehingga noktah-noktah hitam memenuhi hati. Dan adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

Maka janganlah memandang sebarapa besar kemaksiatan yang kita lakukan, tapi pandanglah kepada siapa kita bermaksiat. Tentu berbeda rasa dan nilainya ketika melakukan kesalahan di depan teman, dengan melakukan kesalahan di depan atasan kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sikap kita di depan atasan, sehingga jangan sampai aib sekecil apapun terlihat.

Lalu dimana kita posisikan Allah dalam kehidupan kita? Apakah kedudukan atasan telah mengalahkan kedudukan Allah di hati kita? Sehingga kita dengan santainya berbuat maksiat kepada-Nya? Padahal Allah adalah Dzat yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan).” (Shahih Al Wabilus Shoyib, hal. 94).

Oleh karena itu, hendaklah kita menempa, mendidik, dan menundukkan nafsu (jiwa) kita, agar nafsu mengarahkan hati kita pada hal-hal yang baik, bukan pada kesesatan.

Berikut ini beberapa kiat untuk menghilangkan karat hati, sehingga hati bersih, amal pun tanpa pamrih, hanya mengharap ridha ilahi:

1. Berlepas diri atas segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah Azza wa Jalla demi memurnikan pengabdian kita pada-Nya.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (Lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95).

Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal; syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya.” (Lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah: 4

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia. Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.’.”

2. Perbanyak beristighfar pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Renungkan betapa banyak nikmat Allah yang diberikan pada kita, namun betapa sedikit kita bersyukur. Dan betapa seringnya kita lalai, lalai karena harta kita, anak-anak kita, ataupun karena istri kita.
Setiap ibadah yang kita lakukan tidaklah lepas dari campur tangan Allah. Dia memberikan kita taufiq sehingga kita terasa ringan dalam melakukan ibadah, dan itu semua adalah nikmat yang selayaknya kita syukuri.

Allah berfirman dalam banyak ayat mengenai perintah untuk beristighfar dan bertaubat, diantaranya dalam QS. An-Nur: 31,

وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”

Kemudian dalam QS. At-Tahrim: 8,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas).

Dalam QS. Hud: 3,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sayyidul istighfar (penghulu bacaan istighfar) adalah seorang hamba mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُك وَأَنَا عَلَى عَهْدِك وَوَعْدِك مَا اسْتَطَعْت أَعُوذُ بِك مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْت أَبُوءُ لَك بِنِعْمَتِك عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أَنْتَ

(‘Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau’.) Barangsiapa mengucapkannya di pagi hari dalam keadaan meyakininya, lalu ia mati di waktu malamnya, maka ia akan masuk surga.”

3. Perbanyak membaca Al-Qur’an, jangan sampai hari kita terlewatkan tanpa membaca dan memahami kalam-kalam Allah. Al-Quran di turunkan bukan hanya untuk mencari berkah dengannya, tetapi Allah turunkan sebagai pelajaran, nasihat, obat, dan pedoman hidup. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57).

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan/pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar: 17).

4. Perbanyak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikrullah, karena dengan berdzikir kita akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, sehingga hati dan pikiran lebih terkontrol untuk berhati-hati dalam berniat dan beramal.

Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 191,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’.”

Al-Imam Al-Baghawi mengatakan, “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan yang disebutkan dalam surat diatas.”

Syaikh As-Sa’di mengatakan, dzikir tersebut mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring. Maka pada ayat ini Allah menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung, yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.

5. Berbahagialah dengan kebahagiaan saudaramu.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga penting bagi kita untuk pandai-pandai menata hati. Ketika melihat tetangga beli mobil baru, maka biasanya syubhat mengganggu hati dengan berpikiran su’udzon. Maka hendaklah dengan lapang dada kita berpikiran bahwa ketika tetangga beli mobil baru, adalah suatu kebahagian pula untuk kita karena (Alhamdulillah) kita nanti bisa numpang, kita bisa merasakan pula nyamannya mobil tersebut. Subhanallah, betapa tentram hati ini ketika kita mampu menata hati dengan baik, maka semua yang terjadi akan terasa sebagai nikmat, nikmat dan nikmat. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

6. Bila engkau dilempari batu, maka tangkaplah batu itu, kumpulkan dan bangunlah dengannya sebuah rumah yg indah. Maksudnya, batu tersebut adalah kritikan yg membangun.

Terima kritikan tersebut dengan sebuah senyuman disertai ucapan “terima kasih”. Dua hal ini akan membuat si pengritik langsung tahu bahwa yang dikritik bukanlah orang sembarangan. Mengucapkan “terima kasih” plus senyum pada saat dihujani kritik adalah sebuah sinyal bahwa kita sudah dewasa dan matang. Kata “terima kasih” dan senyum juga bisa menjadi “serangan balik” yang baik bagi mereka yang mengkritik karena biasanya mereka belum tentu akan melakukan hal yang sama pada saat dirinya yang kena kritik.

Terdapat teladan yang baik dari sahabat Umar Bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah riwayat yang mashyur, disebutkan bahwa Umar Bin Al-Khattab pernah mendengar kritikan dalam bentuk keluh kesah seorang ibu yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan untuk anak-anaknya. Uniknya, sang khalifah yang mendengar kritikan tersebut secara langsung bukannya marah atau memanggil tentara untuk memenjarakan sang ibu beserta anak-anaknya. Tetapi justru menyediakan pundak beserta tenaganya untuk mengangkat sendiri bahan makanan yang dibutuhkan oleh ibu tersebut. Masya Allah, itulah Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, salah satu sahabat yang dijamin akan masuk surga oleh baginda Rasul. Lalu bagaimana dengan kita yang tidak mendapat jaminan masuk surga?

7. Jangan menangisi nasi yang telah menjadi bubur, karena itu hanyalah akan menyia-nyiakan waktu. Namun, bangkitlah dan bersemangatlah untuk membuat sebab takdir Allah menjadi lebih baik.

Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang mengundang syubhat dari syaithan, seperti mengatakan, “Seaindainya aku melakukan itu, pastilah akan terjadi begini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan, dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Allah. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala’ (Allah telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya), Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini; ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya.”

8. Tata hati dengan gemar berbagi.

Anas bin Malik mengisahkan, “Dahulu Abu Thalhah adalah orang Anshar di Madinah yang paling banyak harta kebun kurmanya. Kebun yang paling dicintainya adalah “Bairuha”, kebun itu ada di depan masjid yang Nabi selalu memasukinya untuk minum airnya yang bagus.” Anas mengisahkan, “Ketika turun ayat ‘Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.’ Abu Thalhah bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.’ Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah “Bairuha”, harta itu aku sedekahkan di jalan Allah, aku harapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, berikanlah wahai Rasulullah sebagaimana Allah perlihatkan kepada engkau. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian bersabda, “Itu harta yang baik, aku telah mendengar apa yang kamu katakan. Menurutku engkau berikan saja harta itu kepada kerabat-kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Aku akan melakukannya wahai Rasulullah.” Lalu ia bergegas membagikan harta itu kepada kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari).

9. Kunjungilah fakir miskin dan seringlah mengingat kematian, karena dengan itu kita menjadi sadar bahwa dunia ini benar-benar hina, hidup di dunia tidaklah lama, dan hidup di dunia hanyalah untuk mencari bekal menghadap Allah Rabbul ‘alamin.

Sehingga kita menjadi orang yang qana’ah, zuhud, dan suka berbagi kebahagiaan.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi : 46).

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal : 28).

Harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41).

Semoga tulisan ini menjadi saran bersama untuk bermuhasabah demi menjadi hamba Allah yang semakin baik amal dan akhlaqnya di hadapan Allah utamanya, dan dihadapan manusia sebagai bentuk syi’ar agama Islam.

—–

Penyusun: Ummu ‘Athifah Dwi Pertiwi

Pemuraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Referensi : Rekaman kajian Ustadz Reza Syafiq Basalamah hafidzahullahu yang bertema Mengikir Hati Yang Berkarat (dengan sedikit tambahan tanpa mengurangi esensi pokok isi kajian).

Artikel www.muslimah.or.id

Tiga Hal yang Wajib Ditempuh sebelum Melakukan Perkara yang Wajib

$
0
0

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata:

“Seorang hamba apabila bertekad untuk melakukan suatu perkara maka wajib atasnya untuk pertama kali melihat; apakah hal itu termasuk ketaatan kepada Allah atau bukan?

Apabila ternyata hal itu bukan ketaatan hendaklah tidak dia lakukan. Kecuali apabila hal itu adalah suatu perkara yang hukumnya mubah/boleh-boleh saja dan digunakan untuk membantu terlaksananya ketaatan. Dalam kondisi seperti ini maka sesuatu yang asalnya mubah tadi berubah menjadi bernilai ketaatan.

Kemudian apabila tampak jelas baginya bahwa hal itu merupakan ketaatan, hendaklah dia melihat kembali hal itu apakah dirinya diberikan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukan hal itu atau tidak? Apabila dia belum atau tidak mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukannya maka janganlah dia memaksakan diri melakukan hal itu karena hal itu justru akan menghinakan dirinya sendiri.

Apabila dia mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk hal itu maka masih ada perkara lain yang harus diperhatikan; yaitu hendaklah dia mendatangi/memulai perbuatan itu dari pintu/jalan yang semestinya. Karena apabila dia menghampiri perbuatan dan masalah itu tidak melalui pintu/jalan yang semestinya maka dia pasti akan menyia-nyiakan, tidak menunaikan haknya, atau bahkan merusak salah satu bagian di dalamnya.

Ketiga perkara ini adalah pokok kebahagiaan dan sumber keberuntungan hamba. Inilah makna yang tersimpan dalam ucapan hamba ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus’. (QS. Al-Fatihah 5-6).

Oleh sebab itu manusia yang paling berbahagia adalah orang yang menegakkan ibadah –ahlul ‘ibadah-, senantiasa memohon pertolongan Allah –ahlul isti’anah-, dan orang yang menadapatkan curahan hidayah –ahlul hidayah– terhadap segala hal yang dituntut. Dan orang yang paling binasa adalah orang yang kehilangan ketiga perkara ini sekaligus.”

Dari keterangan di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa kebahagiaan itu ditegakkan di atas tiga pilar utama, yaitu: Ibadah kepada Allah [baca; tauhid], Isti’anah kepada Allah [baca; tawakal], Hidayah menuju jalan yang lurus [baca; ilmu dan amal].

**
Disalin dari buku “Tauhid: Kunci Kebahagiaan yang Terlupa”, Abu Mushlih Ari Wahyudi, hlm. 105-106, Pustaka Muslim, Yogyakarta.

Dipublikasikan ulang oleh Muslimah.Or.Id
Artikel Muslimah.Or.Id

Tauhid Kunci Ampunan

$
0
0

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ اَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايًا، ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لَاتُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. At-Tirmidzi dalam Kitab Ad-Da’awat [3540], dihasankan olehnya dan dishahihkan Syaikh Al-Albani).

Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:

  • Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya, maka dia pasti masuk neraka.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil, sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
  • Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan atau dosanya justru lebih berat dalam timbangan, maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal disana. (lihat Al-Jadid fi Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 44)

**

Disalin dari buku “Tauhid: Kunci Kebahagiaan yang Terlupa”, Abu Mushlih Ari Wahyudi, hlm. 12-13, Pustaka Muslim, Yogyakarta.

Dipublikasikan ulang dengan beberapa penambahan oleh Muslimah.Or.Id

Artikel Muslimah.Or.Id

 

Penyimpangan Kaum Wanita Dalam Aqidah

$
0
0
  1. Pergi ke tukang sihir dan tukang ramal untuk menyembuhkan penyakit atau melepaskan sihir atau mencari pekerjaan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti agar tidak mendatangi mereka. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang suatu hal (maka) tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan).
    Bahkan barangsiapa yang mempercayainya maka ia telah kafir, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu dia mempercayai perkataannya maka dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
  2. Ziarah kubur dan bersengaja mengadakan perjalanan jauh hanya untuk ziarah kubur dan khususnya kuburan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Allah melaknat kaum wanita yang banyak berziarah kubur.” (HR. Imam Ahmad)
  3. Memulai ucapan salam kepada wanita-wanita kafir dan saling berkasih sayang dengan mereka, juga mengucapkan selamat pada saat ulang tahun atau tahun baru dan semacamnya. Hal ini haram untuk dilakukan karena termasuk ungkapan simpati kepada musuh-musuh Allah Ta’aala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.”(HR. Muslim)
  4. Bodoh atau tidak tahu tentang urusan agama dan enggan mempelajari ilmu syariat khususnya yang berhubungan dengan hukum-hukum kewanitaan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  5. Berteriak atau meraung-meraung, memukul-mukul wajah dan merobek pakaian ketika ada yang meninggal dunia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah termasuk dari (golongan) kami orang yang memukul pipinya, merobek satu (pakaian)nya dan meneriakkan teriakan-teriakan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)
    Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Wanita yang meratap, apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal, (maka) pada hari Kiamat dia akan dibangkitkan dan dipakaikan pakaian dari cairan tembaga serta mantel dari penyakit kudis.” (HR. Muslim)
  6. Pergi ke negara-negara kafir tanpa ada kepentingan, dengan alasan pergi untuk berlibur atau berbulan madu. Para ulama telah mengeluarkan fatwa bahwa mengadakan lawatan atau pergi ke negara-negara kafir tidak boleh kecuali dengan alasan yang dapat diterima secara sara (agama). Berekreasi dan melancong tidaklah termasuk alasan yang dapat diterima. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap orang muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  7. Meminta dengan paksa agar suami menggunakan pembantu atau baby sitter non muslim. Ironinya, ada sebagian kaum wanita yang telah mempersyaratkan hal tersebut ketika akan akad nikah. Kemudian para pembantu dan baby sitter tersebut mendapat tugas untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Tindakan semacam itu tentu akan berakibat buruk terhadap akidah dan moral anak-anak dan hal itu tidak samar lagi bagi orang yang mau berfikir.
  8. Mengejek dan menghina orang-orang muslim atau muslimah, khususnya kaum muslimah yang konsisten terhadap ajaran agama. Dia lupa bahwa dengan hal tersebut, dia melakukan sesuatu yang dapat membatalkan keislamannya. Dia dianggap keluar (murtad) dari Islam bila dia mengejek kaum wanita muslimah karena konsisten dengan ajaran-ajaran agama yang di antaranya adalah hijab/jilbab.
    Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

    وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

    Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)

  9. Perasaan tidak sabar kaum wanita ketika ditimpa dengan musibah, sehingga dia berdo’a lebih baik mati saja. Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mengharapkan kematian (hanya) karena musibah yang menimpanya. Kalau dia memang harus berharap (berdo’a) hendaklah dia mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik untukku dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku’.” (Muttafaq ‘alaih)

——————————————————–

Diketik ulang dari buku “Penyimpangan Kaum Wanita”. Judul asli: “Mukhālafāt Taqa’u Fīhā An-Nisā” yang diperiksa oleh Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin

Artikel muslimah.or.id

Tauhid Adalah Inti Dakwah Seluruh Nabi Dan Rasul

$
0
0

Kaum Muslimin yang dirahmati oleh Allah, wajib bagi setiap Muslim untuk memprioritaskan tauhid daripada selainnya. Yaitu hendaknya kita mempersembahkan segala ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan semua bentuk ibadah kepada selain Allah. Karena tujuan kita diciptakan oleh Allah di dunia ini adalah agar kita mentauhidkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Dan keselamatan seseorang di akhirat kelak ditentukan oleh tauhid. Orang yang mati dalam keadaan bertauhid, maka ia akan selamat di akhirat walaupun membawa dosa yang banyak. Adapun orang yang mati dalam keadaan musyrik, maka ia tidak akan selamat dan merugi selamanya. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya” (QS. Al Kahfi: 110).

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisa’: 48).

Oleh karena itu Allah mengutus pada Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam untuk menegakkan tauhid dan mendakwahkannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiya: 25).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Dari Nabi dan Rasul yang pertama hingga yang terakhir, inti seruan mereka adalah mengajak manusia untuk mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Nuh ‘alaihissalam:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya“. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (QS. Al A’raf: 59).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Hud ‘alaihissalam:

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”” (QS. Al A’raf: 65).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Shalih ‘alahissalam:

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih”” (QS. Al A’raf: 73).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Syu’aib ‘alahissalam:

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”” (QS. Al A’raf: 85).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Musa ‘alahissalam:

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ

Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”“(QS. Al A’raf: 127).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Ibrahim ‘alahissalam:

وَإِبْرَاهِيمَ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah semata dan bertakwalah kepadaNya’.” (QS.Al-Ankabut : 16).

Perhatikan apa yang didakwahkan Nabi Isa ‘alaihissalam:

مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu“, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (QS. Al Maidah: 117).

Bahkan hingga Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah semata dengan memurnikan semua ibadahnya hanya kepadaNya” (QS. Az-Zumar : 11).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal ini semua, maka terlindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam. Adapun perhitungan dosa mereka diserahkan pada Allah Ta’ala” (HR. Bukhari no.6924 dan Muslim no.21).

Demikianlah dakwah para Nabi dan Rasul ‘alahis shalatu was salaam, mereka mendakwahkan tauhid dan itulah inti dakwah mereka. Mereka mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala bentuk penyembahan kepada selain Allah.

Dan mereka pun mengajarkan manhaj dakwah ini kepada para sahabatnya. Perhatikan apa yang diwasiatkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Mu’adz bin Jabal ketika Mu’adz di utus untuk berdakwah di Yaman. Dari Ibnu ‘Abbas  radhiallahu’anhuma ia berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah bersabda padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahlul Kitab. Maka hendaknya yang engkau dakwahkan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mengerjakan itu (shalat), maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka untuk membayar zakat dari harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir. Jika mereka menyetujui hal itu (zakat), maka ambillah zakat harta mereka, namun jauhilah dari harta berharga yang mereka miliki” (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19).

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan, “dari hadits yang mulia ini, dan juga barangsiapa yang memperhatikan dakwah para Rasul yang disebutkan dalam Al Qur’an, dan juga barangsiapa yang memperhatikan sirah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ia dapat memahami manhaj dakwah ilallah. Dan ia akan memahami bahwa yang pertama didakwahkan kepada manusia adalah aqidah, yaitu mengajak mereka menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya, serta meninggalkan semua ibadah kepada selain Allah, sebagaimana makna Laa ilaaha illallah” (Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad, 17).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan juga ditanya, “Fadhilatus syaikh, bagaimana pandangan anda mengenai sebagian da’i yang tidak mendakwahkan tauhid. Namun mereka hanya mendakwahkan akhlak mulia dalam mayoritas ceramah dan khutbah mereka”.

Beliau menjawab:

“Dakwah yang demikian tidaklah bermanfaat sama sekali. Ini sebagaimana badan yang tidak ada kepalanya, maka ia menjadi mayit. Badan jika tidak ada kepalanya, maka bagian badan lainnya tidak bermanfaat. Dakwah yang tidak mendakwahkan tauhid, itu semisal dengan badan yang tidak ada kepalanya. Melelahkan namun tidak ada faidahnya.

Kalau ada orang yang baik akhlaknya, suka bersedekah, mengerjakan shalat, namun ia berbuat kesyirikan, tidak akan diterima semua amalannya. Karena yang membuat amalan menjadi sah adalah tauhid. Dan yang membatalkan amalan-amalan ialah syirik. Maka wajib kita memberikan perhatian pada dakwah tauhid ini.

Berdakwah tanpa dakwah tauhid, sama saja tidak berdakwah. Bahkan berdakwah tanpa dakwah tauhid, tidak adanya lebih baik daripada adanya. Karena ini memperdaya manusia, orang-orang mengira dakwah demikianlah yang benar.

Tidak ada Rasul yang tidak memulai dakwahnya dengan tauhid. Silakan anda perhatikan dakwah para Rasul, dari yang terdahulu hingga yang terakhir yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, mereka demikian (mendakwahkan tauhid)” (Dari artikel “Berdakwah, Tapi Tidak Mendakwahkan Tauhid“).

Maka barang siapa yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mencintai beliau serta meneladani beliau, maka hendaknya ia menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas utama sebagaimana beliau Shallallahu’alaihi Wasallam lakukan serta para Nabi Rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21).

Semoga Allah memberi taufiq.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

Kunci Surga

$
0
0

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah disertai dengan menunaikan hak dan kewajiban (dari kalimat tauhid tersebut), niscaya dia masuk surga.” ( Al-Hujjah Fii Bayaanil Mahajjah 11 / 152 ).

Kalimat laa ilaaha illallaah merupakan kalimat paling agung yang menunjukkan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Seorang muslim yang mengucapakan lafadz tersebut dengan lisannya, penuh keyakinan dalam hatinya, ikhlas, memahami maknanya dan melaksanankan tuntutannya, maka ia akan masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إٍلَهَ اٍلاَّ اللهُ مُخْلِصًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّة

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka  ia (dijamin) masuk surga.” (HR. Ibnu Hibban no. 4 dan 7, Mawaariduzh Zham’an) dan lainnya dari shahabat Mu’adz bin Jabal. dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits As- Shahihah ( No : 2355 ).

Kesuksesan dan kebahagiaan hakiki orang yang beriman adalah dimasukkannya dia kedalam surga dan dijauhkan dari neraka. Itulah keutamaan kalimat laa ilaaha illallaah!

Betapa kalimat laa ilaaha illallaah memiliki kedudukan sangat penting, yang sangat menentukan tempat tinggal seorang hamba di akhirat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كاَنَ أَخِر كَلامِهِ لاإِلَهَ إلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنّةَ

“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah laa ilaaha illallaah ( idak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah),  maka ia akan masuk surga.” (Shahih,  HR Abu dawud ( no. 3116 ) Al-Hakim ( 1/351) dari sahabat Muadz bin Jabal. Syaikh Al-Albani menyatakan: sanadnya hasan shahih, lihat shahih Sunnan Abi Dawud (VIII / 439, No. 2729)

Menjadi kewajiban utama seorang mukmin untuk mempelajari dan memahami tauhid, padahal saat ini tak sedikit kaum muslimin kurang memperhatikannya. Mereka memandang sebelah mata terhadap ilmu tauhid yang sejatinya merupakan inti sari dari diutusnya para nabi dan rasul ‘alaihimush shalaatu was salaam.

Apalah artinya hidup bergelimang kemewahan dunia, populer dimata orang banyak, digelari intelektual muslim namun mereka buta terhadap ilmu tauhid yang merupakan kunci pembuka surga.

Syahadat adalah fondasi atau dasar bagi rukun-rukun Islam lainnya. Dengan tauhid yang lurus dan menjauhi segala perbuatan syirik seorang mukmin akan mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tentunya tak seorangpun yang memiliki akal lurus dan hati yang bersih akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk menjadi hamba Allah yang menginginkan surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan tulus ikhlas dari hatinya.” (HR. Al-Bukhari No.99 dan 6576; Ahmad II/ 373 dari shahabat Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu)

Semoga kita bisa menjadi golongan hamba Allah yang muwahhid dan senantiasa meningkatkan iman, ilmu dan amal sholeh sebagaimana petunjuk dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah memasukkan kita kedalam surga tanpa hisab dan adzab… Amien.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang merealisasikan tauhid, ditandai dengan hati yang penuh dengan iman, tauhid, ikhlas dan dibenarkan dengan amalan, dia tunduk kepada perintah-perintah Allah ‘azza wa jalla dan tidak mengotorinya dengan terus-menerus melakukan perbuatan maksiat, maka dia akan masuk surga tanpa hisab, bahkan termasuk orang-orang yang pertama memasuki dan menempatinya.” (Al-Qoulus Sadiid Fii Maqaashidit Tauhid, hlm: 28 – 29)

*****

Referensi :
Kupas Tuntas Memahami Kalimat Syahadat, Yazid bin Abdul Qodir Jawwas. Media Tarbiyah, Bogor 2015

 

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifah

Muroja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel muslimah.or.id


Al Fa’lu Mencakup Semua Yang Membuat Optimis Dalam Kebaikan

$
0
0

Al Fa’lu adalah berangan-angan dan merasa optimis terhadap kebaikan. Al Fa’lu adalah lawan dari tathayyur atau thiyarah yaitu beranggapan sial terhadap sesuatu, sering disebut masyarakat kita dengan tahayul.

Contoh thiyarah adalah mengatakan:

burung gagak itu terbang ke kiri, berarti kalau kita lewat jalan yang sebelah kiri akan sial

jangan berdiri di pintu, nanti kamu sulit jodoh“.

Ini adalah thiyarah dan ini terlarang dalam Islam. Nabi Shallallahu’alahi wasallam bersabda:

الطيرة شرك، الطيرة شرك، وما منا إلا، ولكن الله يذهبه بالتوكل

thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, dan tidaklah itu muncul dari diri kita kecuali dalam benak saja, namun Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal” (HR. Abu Daud no. 3850, At Tirmidzi no. 1614, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Adapun al fa’lu adalah kebalikan dari itu, seperti mengatakan:

wah, alhamdulillah datang teman kita si Sahl (artinya mudah), insya Allah urusan kita akan mudah“.

bayi saya senang dan tertawa kalau digendong pak guru, nampaknya dia akan menjadi anak pandai“.

Ini adalah al fa’lu dan ini dibolehkan dalam Islam. Nah, apa saja yang termasuk al fa’lu? Silakan simak penjelasan berikut ini.

Soal:

Wahai Syaikh, semoga Allah senantiasa menjaga anda, apakah perkataan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

يُعْجِبُني كذا

hal ini membuatku takjub

itu merupakan sifat yang manusiawi ataukah menunjukkan suatu hukum syar’i? Semisal sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ

tidak ada penyakit menular, tidak ada thiyarah, dan al fa’lu membuatku kagum” (HR. Bukhari – Muslim)[1].

Dan juga pada hadits al fa’lu ini disebutkan الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ dua kata yang ma’rifah (istilah dalam ilmu nahwu), yang menunjukkan pembatasan. Maka apakah kita katakan bahwa al fa’lu yang dibolehkan hanya kalimat thayyibah (kalimat-kalimat yang baik) saja ataukah juga mencakup yang lainnya? Semoga Allah memberkahi anda.

Syaikh Muhammad Ali Farkus menjawab:

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد:

Makna dari يُعْجِبني (membuatku takjub) adalah: “al fa’lu membuatku kagum karena al fa’lu adalah mengangan-angankan kebaikan”. Dan mengangan-angankan kebaikan itu dianjurkan. Karena tathayyur itu merupakan bentuk prasangka buruk kepada Allah, sedangkan al fa’lu adalah prasangka baik kepada Allah. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hal ini menjelaskan perkara yang sudah menjadi tabiat manusiawi, dan menunjukkan kecintaan beliau kepada fitrah manusia yang ia sesuai dengan tabiat manusiawi tersebut. Sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim[2] rahimahullah bahwa kecintaan beliau ini sebagaimana kecintaan beliau terhadap manisan dan madu[3]. Beliau bersabda:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ

Aku ditakdirkan untuk memiliki kecintaan pada beberapa perkara dari dunia kalian…

Dan disebutkan oleh beliau diantaranya wanita dan minyak wangi[4], dan beliau juga menyukai suara yang bagus dalam membaca Al Qur’an dan adzan, Singkatnya, beliau menyukai semua kesempurnaan dan kebaikan serta segala hal yang mengantarkan kepada keduanya.

Demikian. Dan bentuk khabar yang bisa dimaknai sebagai hashr (pembatasan), yang disebutkan para ulama ushul fiqih dengan istilah ta’riful juz’ain (dua hal yang ma’rifah) adalah sebagaimana hadits:

تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

shalat itu batas pengharamannya adalah takbir, dan batas penghalalannya adalah salam“.

Dalam kasus ini, baru bisa diterapkan makna hashr (pembatasan). Mafhumnya, tidak mungkin seseorang dikatakan memulai shalat kecuali dengan melakukan takbir dan tidak dikatakan selesai shalat kecuali dengan salam. Ini adalah adalah madzhabnya jumhur, pendapat yang berbeda hanya dari Hanafiyah dan Zhahiriyah.

Maka kaidahnya: konteks khabar yang seperti demikian bisa dimaknai dengan hashr (pembatasan) selama tidak ada dalil yang menggugurkan pembatasan tersebut. Jika ada dalil maka, maka dimaknai sesuai dalil.

Dan zahir hadits di atas (hadits tentang al fa’lu) adalah bermakna umum dan luas cakupannya mencakup semua kalimat yang merupakan jalan kebaikan. Maka al fa’lu tidak terbatas pada kalimat thayyibah saja namun juga mencakup semua hal yang membuat dada lapang dan mengangankan kebaikan. Baik itu berupa kalimat thayibah, atau (merasa optimis) karena nama yang baik, atau (merasa optimis) karena keberadaan orang yang shalih, atau (merasa optimis) karena lewat di tempat yang baik, ini semua termasuk dalam prasangka baik kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itulah mengapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai al fa’lu, yaitu karena ia merupakan bentuk prasangka baik kepada Allah Ta’ala.

Dan poin lain yang menunjukkan bahwa al fa’lu tidak terbatas pada kalimat thayyibah adalah peristiwa Suhail bin Amr dalam perjanjian Hudaibiyah. Ketika Suhail akan bergabung untuk berunding bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tatkala Rasulullah melihat Suhail datang beliau bersabda:

سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ

Perkara kalian akan dimudahkan

Maka terjadilah sebagaimana yang diharapkan, yaitu dihasilkan kebaikan dengan kedatangan Suhail.

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلَّم تسليمًا

***

Catatan kaki

[1] HR. Bukhari dalam kitab Ath Thib bab “laa ‘adwa” no. 5776, Muslim dalam kitab As Salam no. 2224, dari hadits Anas radhiallahu’anhu

[2] Miftah Daaris Sa’adah (3/306), karya Ibnul Qayyim

[3] Lihat hadits yang dikeluarkan Al Bukhari dalam kitab Ath’imah bab “Al halwa wal ‘asl” no. 5431, Muslim dalam kitab Ath Thalaq no. 1474, dari hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha

[4] HR. An Nasa’i dalam kitab ‘Asyaratun Nisa bab “Hubbun nisa” no. 3939, Al Baihaqi (dan ini merupakan lafadznya) no. 13454, dari hadits Anas radhiyallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 3124.

[5] HR. Abu Daud dalam kitab Ath Thaharah bab “Fardhul wudhu” no. 61, At Tirmidzi dalam kitab Ath Thaharah bab “Maa ja’a anna miftahas shalah ath thuhur” no. 3, Ibnu Majah dalam kitab Ath Thaharah bab “Miftahus shalah ath thuhur” no. 275, dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 5885.

[6] HR. Bukhari dalam kitab Asy Syuruth bab “Asy Syarthu fil jihad wal mushalahah ma’a ahlil harbi wa kitabatis syuruth” no. 2731, dari hadits Al Miswar bin Makhramah radhiallahu’anhuma dan Marwan bin Al Hakam.

***

Sumber: http://www.ferkous.com/home/?q=fatwa-206

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

Cinta Kekal di atas Pondasi Takwa

$
0
0

Allah Taala berfirman,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

َ“Teman-teman akrab pada hari kiamat itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS, Az-Zukhruf: 67)

Allah Taala mengabarkan bahwa hubungan saling mencintai yang akan tetap kekal sampai hari kebangkitan hanyalah persaudaraan yang dibangun atas dasar ketakwaan. Sifat utama orang yang bertaqwa dan pondasi ketakwaan adalah tauhid.

Al-Imam Ibnul Jauzy rahimahullah berkata,

إلا المتقين يعني الموحدين

Kecuali orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang mentauhidkan Allah.” (Zaadul Masir, 4/83)

Asy-Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahumallaah menjelaskan,

“Diantara keistimewaan tauhid adalah tauhid merupakan ikatan yang hakiki dan abadi yang akan terus berlanjut di dunia dan di akhirat, dan tidak ada suatu ikatan di antara manusia secara mutlak yang semisal dengan ikatan tauhid, sebab ikatan antara orang-orang yang bertauhid dan beriman ini adalah ikatan yang abadi dan akan terus berlanjut selamanya di dunia dan di akhirat.

‘Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (QS. Az-Zukhruf: 67)

Dan Allat Taala berfirman dalam ayat yang lain,

وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

Dan (ketika) segala hubungan antara mereka (kaum musyrikin) terputus sama sekali.” (QS. Al-Baqarah: 166)

Maknanya, terputus semua keterkaitan dan hubungan, maka semua hubungan akan terputus, semua kecintaan akan pergi, semua ikatan akan berakhir, kecuali kecintaan, hubungan dan ikatan tauhid dan keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Min Ma’aalimit Tauhid, hal. 15)

 

Diketik ulang dari Buku Tauhid Pilar Utama Membangun Negri dan Peringatan dari Bahaya Syirik, Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Penerbita Al Madinah, Cet. 1, Jan 2016.

 

Wahai Anakku. Siapa Rabbmu?

$
0
0

Suatu ketika, seorang anak kaum muslimin tertangkap oleh tentara Syiah. Dia pun diancam dan dipaksa mengatakan secara jujur. Akhirnya terjadi dialog antara orang-orang Syiah dengan anak yang malang ini. Berikut ini kurang lebih isi dialog itu yang terekam dalam video yang diunggap di youtube:

“Siapakah penciptamu?”

“Basyar Assad”

“Kepada siapa kamu berdoa?”

“Basyar Assad”

“Siapa yang kamu sembah?”

“Basyar Assad”

“Sekarang kamu paham … siapa Allah?”

“Basyar Assad”

“Siapa Muhammad?”

“Basyar Assad”

“Siapa yang lebih kenal? Allah atau Basyar (Assad)?”

“Allah Syiria, Bashar (Assad)”

Siapakah yang lebih baik? Allah atau Basyar (Assad)?

“Bashar”

Anak itu pun dipaksa mengatakan Laa ilaha illa Bashar!”

 

Demikianlah musuh tauhid selalu memasarkan produk sesat penuh kekufuran kepada kaum muslimin yang senantiasa ingin berpegang teguh pada Islam. Dialog memilukan di atas terjadi di bumi Syiria, negeri yang hancur di bawah kekuasaan syiah nushairi’yah. Umat Islam baik orang tua, remaja maupun kalangan anak-anak dipaksa di bawah ancaman senjata untuk menuhankan pemimpin negerinya.

 

Pentingnya Kalimat Laa Illaha Illallah

Islam memerintahkan orang tua untuk mengajarkan kalimat tauhid sejak dini. Pahamkanlah mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti akan arti tauhid. Allah itu satu dan bersemayam di Arsy. Tanamkan keyakinan kokoh bahwa Allah pencipta langit dan bumi serta segala yang ada di semesta ini. Begitu pula ajak anak agar berdoa hanya kepada Allah saja. Kenalkan sejak dini 3 landasan utama yang sederhana ini:

  • Tanyakanlah, siapa Rabbmu? Ajari ia untuk menjawab: Rabbku adalah Allah.
  • Tanyakanlah, siapa Nabimu? Ajari ia untuk menjawab: Nabiku adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Tanyakanlah, apa agamamu? Ajari ia untuk menjawab: Agamaku adalah Islam.

Dengan memberi pemahaman yang benar tentang tauhid uluhiyah, rubbubiyah, serta asma wa sifat Allah, insya Allah akan tertanam benih-benih keimanan yang kokoh kepada Allah sehingga anak akan terbiasa mencintai-Nya, berdoa hanya pada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh Allah ta’ala. Tauhid yang lurus sebagaimana yang diperintahkan-Nya akan mengantarkan seorang mukmin pada surga dan amal shalihnya akan diterima Allah.

Anak-Anak Jadi Target Utama Kekufuran

Sungguh orang-orang kafir tak akan ridha ketika anak-anak kaum muslimin menjadi generasi Islam yang komitmen pada Al Qur’an dan Sunnah. Mereka melancarkan berbagai  provokasi, makar dan segala kekuatannya yang menghancurkan Islam. Gerakan ghazwul fikri atau invasi pemikiran mereka kerahkan agar anak-anak Islam buta terhadap Tuhan mereka. Mereka membuat film-film, game-game dan menerbitkan buku-buku yang mengajak pada kekufuran, kekerasan, pornografi dan menjauhkan anak-anak dari akhlak mulia. Dan saat ini banyak anak-anak kecanduan tayangan yang berbau mistik, seperti kepercayaan akan kehebatan para dewa, peri dan berbagai tokoh fiktif  yang digelari superhero yang menolong saat genting.

Saatnya orang tua dan pendidik prihatin dengan aqidah anak-anaknya, apakah mereka masih menyembah Allah saat kita telah tiada? Sudahkah kita membentengi aqidah mereka dengan pemahaman tauhid yang benar? Seharusnya kita selalu memohon pada Allah agar anak-anak kita terjaga dari makar para penyeru kesesatan. Dan kita perlu terus menerus membina aqidah mereka hanya beribadah kepada Allah saja, menjauhi perilaku syirik, tidak menuhankan benda-benda, berdoa hanya pada Allah dan tidak terperdaya berbagai provokasi dan makar musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Tanamkan dalam hati buah hati anda akan kebesaran Allah, sifat kasih sayangNya dan hanya Allahlah yang berhak disembah dan diibadahi. Ceritakan kisah orang shalih, Luqman Al Hakim, yang menasihati putra-putranya untuk menyembah hanya kepada Allah dan menjauhi syirik.

Semoga Allah mengokohkan tauhid hambaNya yang senantiasa mengagungkan-Nya dengan kalimat mulia. Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah membaca syahadat La illah illallah sebelum kalian terhalang mengucapkannya” (HR. Abu Ya’la [6145] dan Ibu Adi [IV/77] dari Ibnu Amr. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah [467]).

Wallahu a’lam.

 

Referensi :

  1. Majalah Asy-Syariah, No. 144/XI 1437 H
  2. Mencetak Generasi Rabbani, Ummu Ihsan & Abu Ihsan Al Atsari, Pustaka Imam Asa Syafi’i, 2015

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

 

Artikel Muslimah.or.id

Pembuka Pintu Surga

$
0
0

Mengucapkan kalimat syahadat dan merealisasikan konsekuensinya adalah amalan yang menjadi sebab masuknya seorang hamba ke dalam surga.

The post Pembuka Pintu Surga appeared first on Muslimah.Or.Id.

Seuntai Hikmah Doa Nabi Ayyub ‘alaihissalam

Viewing all 63 articles
Browse latest View live